Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ferdinandus Jehalut
Peneliti/Mahasiswa Pascasarjana UGM

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM, Direktur The Indonesian Agora Research Center (IARC)

Pilpres 2024 dalam Jebakan Algoritma Media Sosial

Kompas.com - 23/05/2023, 11:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketika narasi primordial semacam itu dimainkan di media sosial, potensi keterbelahan atau polarisasi politik semakin besar karena mekanisme otomatisasi algoritma akan mengarahkan orang pada pandangan yang selaras dengan pandangan pribadi mereka. Dengan efek bias algoritma tersebut, orang sulit masuk dalam perdebatan yang rasional. Hal yang dominan akan terjadi justru pertarungan sentimen.

Mengantisipasi Efek Kolateral Algoritma

Persoalan polarisasi politik yang sudah dijelaskan sebelumnya perlu dianalisis secara seimbang. Persoalan tersebut tidak bisa dibingkai dalam perspektif instrumentalis semata yang menempatkan teknologi murni sebagai alat yang sifatnya netral, sehingga keberhasilan penggunaannya bergantung pada pengguna sendiri.

Melampaui perspektif instrumentalis, teknologi digital saat ini sudah menjadi lingkungan baru yang memiliki ekosistem yang sudah terstruktur secara otomatis sehingga keberhasilan dan/atau kegagalan penggunaannya merupakan produk interaksi organik antara teknologi dan pengguna serta konteks sosial, budaya, dan politik.

Baca juga: PPP Sebut Jokowi Ingin Pilpres 2024 Diikuti 2 Paslon: Terlalu Lama Kontestasi Habiskan Perhatian Publik

Ekosistem tersebut dirancang sesuai dengan kepentingan pemiliknya. Dalam konteks ini, untuk memahami ekosistem teknologi digital seperti media sosial, yang perlu dipahami terlebih dahulu ialah tujuan dan fungsi teknologi atau media tersebut.

Facebook, misalnya, selama ini umumnya dikenal sebagai situs jejaring sosial. Gambaran yang demikian membuat orang cenderung membayangkan algoritma atau ekosistem Facebook murni melayani tujuan komunikasi sosial.

Dalam kenyataannya, pengembangan Facebook sebagai situs jejaring sosial dikembangkan hanya pada fase-fase awal pendirian Facebook (2004-2010). Sejak 2010 sampai sekarang, Facebook lebih mengembangkan dirinya sebagai sebuah platform multisisi yang melayani periklanan dan pemasaran digital satu atap daripada sebagai situs jejaring sosial.

Oleh karena itu, desain algoritmanya bertujuan melayani kepentingan bisnis tersebut. Celakanya, dalam bidang politik dan demokrasi, rancangan algorima tersebut memiliki efek kolateral atau tak terduga yang justru mengancam ortodoksi dan institusi demokrasi.

Efek kolateral algoritma Facebook atau media sosial pada umumnya dalam bidang politik dan demokrasi tampak dalam beberapa hal. Pertama, bias konfirmasi. Algoritma Facebook atau media sosial pada umumnya mendorong terjadinya bias konfirmasi yang menjadi aspek penting untuk dapat memahami polarisasi online.

Bias ini terjadi karena seseorang secara selektif mengumpulkan bukti yang cenderung mendukung argumentasinya, sementara pada saat yang sama ia mengabaikan upaya untuk mengumpulkan bukti yang sebaliknya (Burighel, 2019: 4).

Kedua, gelembung filter (filter bubble). Istilah tersebut diciptakan Eli Pariser (2011) untuk menggambarkan efek kolateral algoritma. Algoritma yang dirancang untuk tujuan penelitian, promosi konten, periklanan, seleksi, dan penyaringan di internet dalam kenyataannya menyebabkan distorsi dan prasangka.

Hal itu mendorong polarisasi dan memperkuat efek bias dan ruang gema digital. Itu terjadi karena algoritma, dengan memprioritaskan konten tertentu, akan membuat orang terjebak dalam gelembungnya sendiri sehingga dia sulit menemukan pandangan alternatif (Burighel, 2019: 6-7).

Di Facebook, misalnya, jika Anda menghargai situs, teman, atau halaman web tertentu dengan like atau emoji hati, sering membagikan konten itu di halaman Facebook Anda atau mengomentarinya, Facebook tahu Anda sangat terlibat dengan mereka. Facebook melakukannya dengan skor prediktif untuk setiap item.

Dalam konteks ini, Facebook mengetahui dengan jelas preferensi Anda. Facebook tidak ingin mengganggu Anda dengan banyak hal yang tidak Anda minati. Seiring waktu, umpan Anda menjadi lebih sempit dalam perspektif berdasarkan fakta bahwa teman dan situs cenderung konsisten secara politis dalam apa yang mereka unggah (Vaidhayantan, 2018: 17).

Ketiga, echo-chamber. Echo-chamber (ruang gema) adalah kelompok homofili lingkungan digital yang menyatukan kelompok orang yang homogen. Dalam lingkungan homofili ini, dengan dukungan mekanisme algoritma teknologi digital, akan sangat sulit bagi seseorang untuk bertemu dengan orang yang menganut pandangan dan nilai serta keyakinan yang berbeda.

Mereka akhirnya menjadi terpolarisasi karena opini dan informasi yang sama terus digaungkan sedangkan opini dan informasi yang berbeda seolah-olah tidak ada. Akibatnya mereka hidup dalam kepompong informasi (Sunstein (2001: 2; Burighel, 2019: 5-6).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Tren
Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Tren
Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Tren
Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Tren
Ramai soal 'Review' Resto Bikin Usaha Bangkrut, Pakar Hukum: Sah tapi Harus Berimbang

Ramai soal "Review" Resto Bikin Usaha Bangkrut, Pakar Hukum: Sah tapi Harus Berimbang

Tren
6 Kondisi Penumpang Kereta yang Berhak Dapat Kompensasi KAI, Apa Saja?

6 Kondisi Penumpang Kereta yang Berhak Dapat Kompensasi KAI, Apa Saja?

Tren
3 Pemain Uzbekistan yang Patut Diwaspadai Timnas Indonesia, Salah Satunya Punya Nilai Rp 86,81 Miliar

3 Pemain Uzbekistan yang Patut Diwaspadai Timnas Indonesia, Salah Satunya Punya Nilai Rp 86,81 Miliar

Tren
Sepak Terjang Benny Sinomba Siregar, Paman Bobby Nasution yang Ditunjuk Jadi Plh Sekda Kota Medan

Sepak Terjang Benny Sinomba Siregar, Paman Bobby Nasution yang Ditunjuk Jadi Plh Sekda Kota Medan

Tren
Jadwal dan Live Streaming Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23, Kick Off 21.00 WIB

Jadwal dan Live Streaming Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23, Kick Off 21.00 WIB

Tren
Siapa Kandidat Terkuat Pengganti Rafael Struick di Laga Indonesia Vs Uzbekistan?

Siapa Kandidat Terkuat Pengganti Rafael Struick di Laga Indonesia Vs Uzbekistan?

Tren
Mengapa Bisa Mengigau Saat Tidur? Ternyata Ini Penyebabnya

Mengapa Bisa Mengigau Saat Tidur? Ternyata Ini Penyebabnya

Tren
Tanggal 1 Mei Hari Libur Apa?

Tanggal 1 Mei Hari Libur Apa?

Tren
Sempat Diteriaki Warga tapi Tak Menggubris, Kakek Berusia 61 Tahun Tertabrak KA di Sragen

Sempat Diteriaki Warga tapi Tak Menggubris, Kakek Berusia 61 Tahun Tertabrak KA di Sragen

Tren
Perpanjang Pajak STNK Harus Bawa KTP Asli Pemilik Kendaraan, Bagaimana jika Sudah Meninggal?

Perpanjang Pajak STNK Harus Bawa KTP Asli Pemilik Kendaraan, Bagaimana jika Sudah Meninggal?

Tren
Air Kelapa Muda Vs Air Kelapa Tua Sehat Mana? Ini Beda dan Manfaatnya

Air Kelapa Muda Vs Air Kelapa Tua Sehat Mana? Ini Beda dan Manfaatnya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com