Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Perhutanan Sosial, antara Harapan dan Kenyataan

Kompas.com - 21/02/2023, 10:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERHUTANAN sosial (PS) sebagai wajah dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebenarnya merupakan penggerak utama program reforma agraria selain tanah obyek reformasi agraria (TORA).

Kenapa demikian? Karena perhutanan sosial lahan hutan yang begitu luas, yakni 12,7 juta hektar. Sementara TORA hanya sekitar 4,5 juta hektar. Perhutanan sosial digadang-gadang pemerintah sebagai suatu kegiatan yang merupakan satu-satunya solusi untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, tanpa melepaskan hak negara sebagai “pemilik” dan pengelolaan kawasan hutan.

Reforma agraria adalah proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan lahan, baik tanah di hutan ataupun di desa-desa. Dalam reforma agraria tersebut terdapat dua hal yang diperhatikan pemerintah, yakni tanah obyek reforma agraria (TORA) dan perhutanan sosial.

Baca juga: Pemerintah Diminta Maksimalkan Program Perhutanan Sosial Sebelum 2024

Dalam praktiknya, lahan yang termasuk dalam TORA dan perhutanan sosial akan dibuat secara per klaster dan dikelola kelompok masyarakat, terutama untuk diberdayakan di bidang pangan. Namun, bedanya terletak pada hak pemanfataannya.

Lahan TORA bisa digunakan dengan hak milik atas tanah. Lahan perhutanan sosial digunakan melalui hak akses/izin/kemitraan pengelolaan hutan. Lahan TORA adalah hak milik yang sertifikatnya akan dibuat untuk tidak bisa dijual dan tidak bisa dipecah melalui sistem waris. Sementara penggunaan lahan perhutanan sosial tidak boleh merusak ekosistem hutan dan penebangan kayu, hanya dibolehkan di hutan produksi.

Perhutanan sosial adalah kegiatan unggulan pemerintahan Joko Widodo mulai periode pertama hingga periode kedua (2014-2024), yang proses munculnya kegiatan itu sangat pelik dan berbelit-belit.

Secara implisit kegiatan perhutanan sosial disinggung dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6/2007 yang menyebut bahwa dalam rangka untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, pemerintah diwajibkan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.

Pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dapat dilakukan melalui kegiatan hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (Hkm), dan kemitraan kehutanan (KK). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendiskripsikan , tiga kegiatan pemberdayaan masyarakat ini diperluas dan ditambah dengan kegiatan hutan adat (HA) dan hutan tanaman rakyat (HTR) yang selanjutnya menjadi lima skema kegiatan yang disebut dengan perhutanan sosial (Peraturan Menteri LHK Nomor P. 83 Tahun 2016).

Ukuran Keberhasilan

Ada tiga pilar penentu keberhasilan perhutanan sosial, yaitu masyarakat mau dan mampu membentuk kelompok atau gabungan kelompok; kesiapan, kemampuan, dan ketrampilan penyuluh kehutanan dan pendamping kegiatan perhutanan sosial; kesiapan, kemauan, dan kemampuan pemerintah memfasilitasi perizinan, permodalan, hingga pemasaran komoditas petani.

Dalam ilmu penyuluhan kehutanan, peningkatan dan pengembangan kapasitas masyarakat sekitar hutan hanya bisa dilakukan melalui basis pemberdayaan kelompok tani hutan. Dalam Permen LHK Nomor P.89/2018, kelompok tani hutan (KTH) didefinisikan sebagai kumpulan petani yang mengelola usaha di bidang kehutanan di dalam dan di luar kawasan hutan.

Meski kelompok tani hutan yang mengelola usaha kehutanan di luar kawasan hutan sulit diidentifikasi, KTH jenis ini biasanya lebih maju dan cepat berkembang dibandingkan KTH di dalam dan sekitar hutan.

Usaha KTH di luar kawasan hutan umumnya pembibitan tanaman kehutanan, hutan rakyat, budi daya lebah madu, agroforestri hasil hutan bukan kayu. Sementara KTH di dalam dan di sekitar hutan pada umumnya bergerak dalam kegiatan hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Berdasarkan statistik Pusat Penyuluhan KLHK terakhir, jumlah KTH di seluruh Indonesia sebanyak 30.536 kelompok. Lebih dari 6.000 KTH berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

Baca juga: Serahkan SK Perhutanan Sosial, Jokowi: Saya Tak Ingin Sekadar Bagi-bagi

Berdasarkan target kelompok usaha perhutanan sosial 2014-2019 sebanyak 5.000 unit, realisasinya 6.411 kelompok. Namun, baru 30 persen realisasi luas perhutanan sosial dari target 12,7 juta hektare.

Jika seluruh lahan indikatif itu terdistribusi, pemerintah menghitung akan melibatkan 3 juta keluarga atau 12 juta jiwa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com