Saat dikonfirmasi, Daryono menjelaskan bahwa kilat tersebut akibat dari seismoelectric effect atau efek seismoelektrik.
Fenomena tersebut, lanjut dia, terjadi saat batuan kulit bumi mengalami atau mendapatkan tekanan hebat dan sangat kuat hingga mendekati batas elastisitasnya.
Sebelum mencapai batas elastisitas, mereka akan melepaskan gelombang elektromagnetik.
"Dari sinilah awal cerita lightning during the earthquake, pencahayaan gempa," ujar Daryono kepada Kompas.com, Rabu.
Sementara itu, Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menjelaskan, fenomena seperti kilatan petir, bola cahaya, pita, dan pijar stabil, yang dilaporkan terkait dengan gempa bumi disebut earthquake lights (EQL).
Meski beberapa kali terjadi, fenomena ini masih menjadi perdebatan di antara pakar. Ahli geofisika berbeda pendapat terkait laporan cahaya tak biasa di dekat waktu dan episentrum gempa adalah benar-benar EQL.
Beberapa meragukan bahwa kilatan tersebut merupakan bukti kuat adanya EQL. Sementara lainnya, berpikir bahwa beberapa laporan kilat tersebut merupakan EQL.
Hipotesis berbasis ilmu fisika pun telah muncul untuk menjelaskan secara khusus terkait EQL, dan kemungkinannya menjadi pertanda atau bahkan penyebab gempa bumi besar.
Di sisi lain, beberapa laporan EQL ternyata berkaitan dengan listrik yang melengkung dari kabel listrik yang bergetar.
Adapun menurut Daryono, fenomena cahaya gempa ini bukan hanya dapat berlangsung sebelum terjadi gempa bumi.
"Saat gempa juga bisa," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.