KOMPAS.com - Pengguna jalan bisa saja terlibat atau melihat sebuah kecelakaan. Saat terjadi kecelakaan di tengah jalan, naluri alamiah manusia umumnya akan bergerak untuk memberikan pertolongan.
Pertolongan tersebut amat berguna agar korban segera mendapatkan penanganan dan jiwanya bisa terselamatkan.
Namun tak jarang, menolong korban kecelakaan justru bisa membawa efek kurang mengenakkan. Pasalnya, sebagian orang berpendapat, orang sekitar yang tak melihat justru bisa menganggap penolong sebagai pelaku penyebab kecelakaan.
Seperti beragam tanggapan twit ini, pada Sabtu (4/2/2023), yang menanyakan apa yang akan dilakukan saat ada di posisi tersebut.
"Team yang jalan terus. Karena CCTV di Indonesia masih dikit dan warganya masih rasis + doyan nuduh," kata warganet.
"Gw pernah hampir digebukin ama serombongan buruh yg lg konvoi, gr2 gw ngurusin orang kecelakaan tunggal (jatoh gr2 ngelindes balok kayu dlm kecepatan tinggi +/- 60-70 km/jam). Terus stlh tau kronologisnya, ga satupun dr mereka yg mau nolongin si korban. malah cabut semua," tulis warganet.
"Ga ada urusannya sih, mending pergi ae. Buang2 waktu nolong orang kecelakaan disamping emang ga punya kapabilitas buat ngasi first aid," kata warganet lain.
"Bawa korban kecelakaan ke RS tuh ga semudah 'ini soal kemanusiaan'. Jangankan kalau lu terlibat kecelakaannya (meski yg teledor dalam berkendara korban/orang lain), lu cuma jadi orang baik yg ga terlibat aja bisa kena getahnya: Dituduh yang nabrak + dituntut ganti rugi/biaya RS," tulis pengguna lain.
Serba salah, lantas sebaiknya, apa yang harus dilakukan saat melihat kecelakaan di jalan?
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, tidak memberikan pertolongan kepada korban kecelakaan bisa dipidana.
"Ada, yaitu orang yang membiarkan tidak melakukan pertolongan atau memberi bantuan kepada orang yang sedang mendapat kecelakaan," jelas Abdul, saat dihubungi Kompas.com, Senin (6/2/2023).
Aturan tersebut, lanjut dia, tertuang dalam Pasal 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berisi:
"Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Namun demikian, mengingat penolong korban tak jarang justru dituduh sebagai pelaku penyebab kecelakaan, Abdul mengimbau untuk tak menolongnya seorang diri.
"Jika dekat dengan korban, usahakan menarik orang lain yang berada dekat juga, bersama-sama menolong korban," kata dia.
Sementara itu, apabila hanya seorang diri, Abdul menyarankan agar penolong berteriak meminta tolong agar orang lain mendekat, sebelum memutuskan menolong korban.
"Paling tidak ada dua orang, kecuali penolong tidak membawa apa pun ketika melakukan pertolongan kepada orang lain," ujarnya.
Baca juga: Ramai soal Hajatan di Jalan Umum, Bagaimana Aturannya?
Terpisah, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno mengatakan, berada di posisi melihat kecelakaan memang serba salah.
"Kalau tidak ditolong dia kehilangan waktu untuk dilakukan pertolongan, tapi kalau ditolong dan salah angkat, yang seharusnya tidak fatal bisa jadi fatal," jelasnya kepada Kompas.com, Senin.
Oleh karena itu, Djoko mengungkapkan bahwa cara terbaik jika tidak berani menolong langsung adalah dengan menelepon orang terdekat atau ambulans.
Dia mengimbuhkan, ambulans memiliki tenaga medis yang mengerti tata cara mengangkat korban, sehingga tak memperparah keadaan.
"Sebetulnya kalau sudah telepon ambulans, sudah membantu ya. Memang ngeri kalau ada kecelakaan itu," ujar dia.
Baca juga: Mobil Parkir di Pinggir Jalan karena Tak Ada Garasi, Bagaimana Aturannya?
Di sisi lain, Djoko menyoroti jarangnya korban kecelakaan yang menuntut pengelola jalan saat mengalami kecelakan.
Padahal, kata dia, pengelola jalan bisa dimintai pertanggungjawaban saat kecelakaan terjadi akibat jalan rusak.
"Itu salahnya ada di pengelola jalan. Jalannya rusak kan ada di tangan dia, itu bisa dituntut pakai UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ)," terang dia.
Aturan soal kecelakaan akibat jalan rusak ini terdapat pada Pasal 24 UU Nomor 22 Tahun 2009 (UU LLAJ).
Pasal tersebut mengatur bahwa:
"Sanksi pidananya ada di Pasal 273 UU LLAJ," imbuh Djoko.
Adapun sanksi tersebut, meliputi:
Penuntutan tersebut, dilakukan terhadap penyelenggara jalan yang memiliki kewenangan akan jalan rusak tempat kecelakaan terjadi.
"Jalan nasional wewenang Kementerian PUPR, jalan provinsi milik pemerintah provinsi, dan jalan kabupaten/kota wewenang pemerintah kabupaten atau pemerintah kota," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.