Perjanjian pranikah dapat dibuat sebelum, saat, atau selama pernikahan berlangsung.
Hal ini diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, yang mengubah Pasal 29 UU Perkawinan:
"Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut."
Sementara itu, Pasal 139 KUH Per mengatur, perjanjian pranikah dapat menyimpang dari ketentuan terkait harta bersama, asal tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Biasanya, perjanjian pranikah dibuat apabila:
Baca juga: Apa Itu Somasi? Ini Pihak yang Berhak Melayangkan Somasi
Perjanjian pranikah kerap dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. Perjanjian ini juga dicap sebagai sesuatu yang tidak umum dan penuh kecurigaan antara suami dan istri.
Masih dari Jurnal Dinamika Hukum, perjanjian perkawinan penting agar tidak terjadi pertikaian dalam proses pembagian harta gono-gini.
Selain itu, bagi suami istri pengusaha, perjanjian ini berfungsi untuk mengamankan harta apabila salah satu pihak terkena pailit.
Dengan begitu, meski terjadi pailit hingga harta salah satu pihak habis, masih ada simpanan harta kekayaan dari pihak lainnya.
Adapun dalam perjanjian pranikah, setidaknya perlu mempertimbangkan hal berikut:
Kedua pihak harus terbuka dalam mengungkapkan semua detail kondisi keuangan, baik sebelum menikah hingga setelah menikah.
Keterbukaan meliputi berapa jumlah harta bawaan masing-masing, serta potensi pertambahan harta saat perkawinan.
Selain itu, perlu juga keterbukaan soal utang bawaan masing-masing, serta pihak yang akan bertanggung jawab untuk menanggungnya.
Hal ini untuk menghindari agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Baca juga: Mengenal Profesi Jaksa: Pengertian, Peran dan Tugas, Syarat, serta Gaji
Kedua pihak harus rela menyetujui isi perjanjian pranikah dan mau menandatangani tanpa paksaan.