Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Jebakan Kepemimpinan yang Buruk, Pesan untuk Gen Z

Kompas.com - 27/09/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sampai pada akhirnya, karyawan tersebut harus mengalami burnout. Pemimpin yang buruk membiarkan karyawannya bekerja lembur tanpa mempertimbangkan kesehatan mentalnya.

Ada cerita dari seorang pekerja di Inggris yang bernama Matt, Ketika dia pulang pada dini hari, merasa tidak enak karena masih ada rekan-rekannya yang bertahan menyelesaikan pekerjaan. Sebenarnya Matt tidak perlu merasa seperti itu karena dia pun sudah melampaui batas jam kerja yang ditetapkan.

Meskipun overwork, pemimpin yang buruk tidak menghargai kinerja karyawannya. Mereka tetap menerapkan cara tersebut agar organisasi bisa terus berkembang. Dan, dampaknya adalah karyawan tidak lagi peduli dengan pemimpin dan organisasi tempat mereka bekerja.

Gallup di tahun 2022 menemukan bahwa hanya 24 persen responden yang peduli dengan atasan mereka.

Talenta terbaik bisa ditinggal

Menurut CEO Kubik Leadership, ada tiga ciri-ciri seorang pemimpin yang buruk. Pertama, dia tidak berhasil menanamkan value organisasi kepada timnya.

Kedua, mereka tidak peduli dengan anggotanya dan menuntut keinginannya selalu terpenuhi.

Terakhir, pemimpin yang buruk melahirkan follower, tetapi tidak melahirkan seorang pemimpin karena pemimpin yang buruk menuntut loyalitas dibandingkan kualitas.

Pemimpin yang buruk mungkin melahirkan banyak follower, tetapi seperti manusia pada umumnya, karyawan pun juga pada akhirnya mengundurkan diri atau keluar. Tentunya mereka ingin mendapatkan lingkungan yang mendukung perkembangan kariernya tanpa mengorbankan kesejahteraan.

Karyawan pastinya ingin dipimpin oleh pemimpin yang mengayomi dan mempedulikan kesejahteraan anggotanya. Pemimpin yang buruk tidak memahami alasan sebenarnya karyawan keluar.

Baca juga: Heroic Leadership, Kepemimpinan Langka yang Semakin Dibutuhkan

Mereka mengira uang jadi masalah utama, padahal kenyataan berbicara lain. Dalam OC Tanner Cultural Report 2020, sebanyak 89 persen atasan berasumsi bahwa para karyawan pergi karena masalah gaji atau uang.

Nyatanya, hanya 12 persen yang benar-benar meninggalkan perusahaan karena faktor uang. Menariknya, dalam riset tersebut, 66 persen karyawan merasa pemimpinnya tidak tahu apa yang dilakukannya.

Ini yang tampaknya menjadi ciri pemimpin yang buruh lainnya, yaitu tidak ada akuntabilitas. Pemimpin yang buruk menutupi ketidaktahuannya dengan membiarkan karyawannya kerja tanpa arah.

Karyawan pun rugi dari segi waktu sampai kesehatan mental. Selain itu, mereka tidak mengubah budaya kerja yang relevan dengan zaman sekarang.

Menurut Cultural Report yang dikeluarkan Achievers Workforce Institute tahun 2022, sebanyak 56 persen pemimpin SDM mengatakan C-suite tidak mengerti bahwa dunia kerja telah berubah.

Jadinya, mereka lebih kebal terhadap perubahan dan tetap mempertahankan cara lama dalam bekerja.

Menurut penulis, pemimpin tentu harus adaptif terhadap perubahan-perubahan, terlebih di era VUCA. Era VUCA menuntut fleksibilitas dalam kebijakan, budaya, dan inovasi. Tanpa ada fleksibilitas, maka organisasi akan kesulitan untuk mengarungi era yang penuh dengan ketidakpastiaan.

Banyak organisasi yang pada akhirnya harus berhenti beroperasi karena tidak mampu membaca tuntutan zaman. Kodak contohnya.

Sama halnya dengan budaya kerja. Di masa sekarang, budaya kerja hybrid sedang digandrungi oleh para talenta-talenta yang ada di luar sana. Mereka menuntut tidak ingin terus pergi ke kantor setiap hari.

Jika ada pilihan untuk bekerja remote atau hybrid, 86 persen karyawan akan memilih itu.

Pemimpin yang buruk yang terus menerus menerapkan cara lama dengan pola komunikasi dan budaya yang tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya akan kehilangan integritasnya sebagai pemimpin.

Akibatnya, organisasi yang mereka pimpin akan menjadi pilihan terakhir bagi mereka yang ingin berkarier. Pada akhirnya, talenta terbaik yang dulu berkontribusi besar akan meninggalkan organisasinya.

McKinsey dalam Great Atrition Survey di tahun 2021 menemukan empat penyebab utama mengapa karyawan keluar dari perusahaan. Mereka merasa tidak dihargai oleh organisasi mereka (54 persen) atau manajernya (52 persen).

Karyawan juga tidak memiliki sense of belonging terhadap tempat mereka bekerja (51 persen). Terakhir, 46 persen menyebutkan alasan berhenti karena keinginan untuk bekerja dengan orang-orang yang percaya dan peduli satu sama lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com