Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jebakan Kepemimpinan yang Buruk, Pesan untuk Gen Z

Di dunia ini terdapat banyak sekali tipikal pemimpin. Ada yang menjadi pemimpin di perusahaan (CEO dan manajer). Beberapa ada yang menjadi penggerak (founder dan inisiator).

Tak lupa juga dengan pemimpin di sektor pemerintahan (direktorat, kepala dinas, dan lain sebagainya). Mereka semua pada intinya memimpin anggota-anggotanya untuk meraih tujuan tertentu.

Namun, dari semua pemimpin yang ada di dunia, apakah mereka termasuk kategori pemimpin yang baik atau yang buruk?

Ada sebuah cerita di mana seseorang dipromosikan menjadi pemimpin di suatu organisasi karena keberhasilannya dalam peran yang dilakoni sebelumnya. Sang promotor berharap orang itu bisa mencapai keberhasilan yang sama atau bahkan lebih dari perannya memimpin tim sebelumnya.

Ternyata, ketika orang tersebut menjalankan perannya, dia tak mampu mencapai keberhasilan memadai. Anggotanya justru banyak yang komplain karena dia micro managing, tidak berempati, arogan, dan tidak mendengarkan berbagai masukan dari anggotanya.

Dia merasa tahu segalanya dan mengedepankan kontrol.

Burnout dan pemimpin yang buruk

Project Multatuli pernah melakukan riset terhadap 153 responden generasi z (gen z) yang melakukan magang. Sebagian besar responden mengatakan bahwa mereka magang untuk mendapatkan pengalaman kerja.

Namun, ketika magang dilakukan, beban kerja mereka setara dengan karyawan full-time. Bahkan, ada yang menganggap bahwa magang merupakan cara perusahaan memaksimalkan potensi mahasiswa/i.

Akhirnya, terkadang mahasiswa/i kelelahan dan mengalami burnout (kelelahan fisik, mental,dan emosional). Burnout bukan hanya dialami oleh gen z, juga dialami kaum milenial.

Riset dari Gallup dan MetLife tahun 2021 menemukan bahwa generasi milenial yang mengalami kelelahan akibat bekerja sebesar 42 persen, lebih besar dari generasi z (35 persen), gen y (27 persen), dan baby boomers (21 persen).

Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa burnout menjadi tren pekerjaan saat ini. Apa hubungannya dengan pemimpian yang buruk?

Kepemimpinan yang buruk berarti lack of presence, insular behavior, inability to listen and abuse. Burnout karena kelebihan bekerja seharusnya disadari oleh pemimpin yang buruk, sehingga bisa segera mencari solusi.

Seorang pemimpin tentu memiliki kemampuan social listening yang mumpuni. Ketika pemimpin jeli mendengar keluhan-keluhan dari karyawannya dan empati terhadap situasi yang dialami, kebijakan yang lebih efektif pun bisa dibuat.

Namun, sayangnya, riset global dari WTW (2021) menunjukkan bahwa keputusan perusahaan berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan karyawannya sebesar 50 persen dan work engagement karyawan sebanyak 40 persen.

Dari riset ini, pemimpin yang buruk tidak mempertimbangkan aspirasi dari karyawannya. Mereka cenderung membuat kebijakan satu arah dan tertutup terhadap masukan bawahan.

Padahal sebagai seorang pemimpin, menjadi kewajibannya untuk memperhatikan kesejahteraaan karyawan.

Ini menjadi cerminan bagaimana hubungan pemimpin - bawahan (kayawan) yang terjalin. Hubungan pekerjaan bersifat dua arah dan saling menguntungkan. Pemimpin mendapatkan kontribusi karyawannya dan sebaliknya, karyawan mendapatkan perlakuan yang humanis, termasuk remunerasi, bonus dan kebijakan yang sama-sama menguntungkan.

Tetapi, sayangnya, banyak bukti yang mengatakan bahwa peran pemimpin yang buruk yang jadi penyebab kelelahan bekerja.

Tahun 2018, ada riset yang dikeluarkan The Predictive Index. Ada tiga hal yang perlu jadi alert bagi pemimpin saat ini. Mereka menemukan bahwa 58 persen responden merasa manajernya tidak komunikatif, 57 persen berkata bahwa atasan mereka punya karyawan favorit, dan 55 persen merasa manajernya tidak peduli dengan karier dan perkembangan pribadi.

Di tahun yang sama, riset dari Teamblind Inc juga menemukan bahwa pemimpin menjadi alasan karyawan mengalami burnout. Riset ini mengungkapkan banyak hal kepada kita tentang karakter pemimpin yang buruk: mereka kurang komunikatif dan tidak memercayai karyawannya.

Dua hal ini fundamental bagi terbentuknya hubungan yang baik di tempat kerja.

Lolly Daskal, pakar kepemimpinan, menyebutkan hal ini dalam ciri-ciri seorang pemimpin yang buruk. Mereka adalah orang yang tidak percaya pada karyawannya dan selalu mengatur segala hal.

Sampai pada akhirnya, karyawan tersebut harus mengalami burnout. Pemimpin yang buruk membiarkan karyawannya bekerja lembur tanpa mempertimbangkan kesehatan mentalnya.

Ada cerita dari seorang pekerja di Inggris yang bernama Matt, Ketika dia pulang pada dini hari, merasa tidak enak karena masih ada rekan-rekannya yang bertahan menyelesaikan pekerjaan. Sebenarnya Matt tidak perlu merasa seperti itu karena dia pun sudah melampaui batas jam kerja yang ditetapkan.

Meskipun overwork, pemimpin yang buruk tidak menghargai kinerja karyawannya. Mereka tetap menerapkan cara tersebut agar organisasi bisa terus berkembang. Dan, dampaknya adalah karyawan tidak lagi peduli dengan pemimpin dan organisasi tempat mereka bekerja.

Gallup di tahun 2022 menemukan bahwa hanya 24 persen responden yang peduli dengan atasan mereka.

Talenta terbaik bisa ditinggal

Menurut CEO Kubik Leadership, ada tiga ciri-ciri seorang pemimpin yang buruk. Pertama, dia tidak berhasil menanamkan value organisasi kepada timnya.

Kedua, mereka tidak peduli dengan anggotanya dan menuntut keinginannya selalu terpenuhi.

Terakhir, pemimpin yang buruk melahirkan follower, tetapi tidak melahirkan seorang pemimpin karena pemimpin yang buruk menuntut loyalitas dibandingkan kualitas.

Pemimpin yang buruk mungkin melahirkan banyak follower, tetapi seperti manusia pada umumnya, karyawan pun juga pada akhirnya mengundurkan diri atau keluar. Tentunya mereka ingin mendapatkan lingkungan yang mendukung perkembangan kariernya tanpa mengorbankan kesejahteraan.

Karyawan pastinya ingin dipimpin oleh pemimpin yang mengayomi dan mempedulikan kesejahteraan anggotanya. Pemimpin yang buruk tidak memahami alasan sebenarnya karyawan keluar.

Mereka mengira uang jadi masalah utama, padahal kenyataan berbicara lain. Dalam OC Tanner Cultural Report 2020, sebanyak 89 persen atasan berasumsi bahwa para karyawan pergi karena masalah gaji atau uang.

Nyatanya, hanya 12 persen yang benar-benar meninggalkan perusahaan karena faktor uang. Menariknya, dalam riset tersebut, 66 persen karyawan merasa pemimpinnya tidak tahu apa yang dilakukannya.

Ini yang tampaknya menjadi ciri pemimpin yang buruh lainnya, yaitu tidak ada akuntabilitas. Pemimpin yang buruk menutupi ketidaktahuannya dengan membiarkan karyawannya kerja tanpa arah.

Karyawan pun rugi dari segi waktu sampai kesehatan mental. Selain itu, mereka tidak mengubah budaya kerja yang relevan dengan zaman sekarang.

Menurut Cultural Report yang dikeluarkan Achievers Workforce Institute tahun 2022, sebanyak 56 persen pemimpin SDM mengatakan C-suite tidak mengerti bahwa dunia kerja telah berubah.

Jadinya, mereka lebih kebal terhadap perubahan dan tetap mempertahankan cara lama dalam bekerja.

Menurut penulis, pemimpin tentu harus adaptif terhadap perubahan-perubahan, terlebih di era VUCA. Era VUCA menuntut fleksibilitas dalam kebijakan, budaya, dan inovasi. Tanpa ada fleksibilitas, maka organisasi akan kesulitan untuk mengarungi era yang penuh dengan ketidakpastiaan.

Banyak organisasi yang pada akhirnya harus berhenti beroperasi karena tidak mampu membaca tuntutan zaman. Kodak contohnya.

Sama halnya dengan budaya kerja. Di masa sekarang, budaya kerja hybrid sedang digandrungi oleh para talenta-talenta yang ada di luar sana. Mereka menuntut tidak ingin terus pergi ke kantor setiap hari.

Jika ada pilihan untuk bekerja remote atau hybrid, 86 persen karyawan akan memilih itu.

Pemimpin yang buruk yang terus menerus menerapkan cara lama dengan pola komunikasi dan budaya yang tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya akan kehilangan integritasnya sebagai pemimpin.

Akibatnya, organisasi yang mereka pimpin akan menjadi pilihan terakhir bagi mereka yang ingin berkarier. Pada akhirnya, talenta terbaik yang dulu berkontribusi besar akan meninggalkan organisasinya.

McKinsey dalam Great Atrition Survey di tahun 2021 menemukan empat penyebab utama mengapa karyawan keluar dari perusahaan. Mereka merasa tidak dihargai oleh organisasi mereka (54 persen) atau manajernya (52 persen).

Karyawan juga tidak memiliki sense of belonging terhadap tempat mereka bekerja (51 persen). Terakhir, 46 persen menyebutkan alasan berhenti karena keinginan untuk bekerja dengan orang-orang yang percaya dan peduli satu sama lain.

Singkatnya, alasan-alasan karyawan keluar itu bukan karena gaji atau uang, melainkan perasaannya terhadap organisasi tempat mereka berkarya.

Empat alasan yang diungkapkan McKinsey bisa diperbaiki apabila pemimpin memiliki keinginan untuk memperbaiki budaya kerja dan pola komunikasi serta kepemimpinannya. Tempat kerja menjadi rumah kedua bagi sebagian besar orang karena kita menghabiskan banyak waktu untuk mendapatkan karier yang baik.

Seorang pemimpin yang baik sadar akan hal itu dan mencoba semaksimal mungkin menjadikannya tempat yang menyenangkan.

Namun, pemimpin yang buruk tidak seperti itu karena mereka lebih mempedulikan pencapaian pribadi ketimbang kesejahteraan banyak orang.

Gen z, your choice! Be a good or bad leader?

Jim Clifton, CEO dari Gallup, salah satu lembaga riset terkemuka, mengatakan, “The single biggest decision you make in your job — bigger than all the rest — is who you name manager. When you name the wrong person manager, nothing fixes that bad decision. Not compensation, not benefits — nothing.”

Kita bisa belajar banyak dari hubungan Mary Barra dan perusahaan General Motors (GM). Ada kisah menarik bahwa Mary Barra hanya berkarier di satu perusahaan saja, yaitu GM.

GM juga melakukan investasi terhadapnya. Mereka menyekolahkan Mary S2 di Universitas Stanford dan memberikan kesempatan profesional yang luas.

Alhasil, Mary Barra menjadi CEO perempuan pertama di GM di tahun 2014 karena hubungan antara pemimpin dan karyawan yang harmonis.

Kisah sekilas dari Mary Barra memberikan gambaran tentang kepemimpinan yang baik dan bagaimana mereka menghargai karyawannya. Mary Barra adalah hasil nyata dari kepercayaan yang diberikan pemimpin GM terhadapnya. Bahkan, menjadi perempuan pertama yang memimpin perusahaan industri otomotif internasional ini.

Menurut penulis, itulah pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik menghasilkan pemimpin besar. Praktik-praktik seperti inilah yang harus banyak dicontoh oleh banyak organisasi.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memberdayakan karyawannya untuk menjadi versi terbaik dari dalam dirinya. Tidak semua karyawan memang yang nantinya bertahan lama.

Namun setidaknya, pemimpin yang baik menciptakan lingkungan berkembang yang baik dan suportif bagi para karyawannya. Menjadi pemimpin memang bukanlah tugas yang mudah.

Namun, saya percaya bahwa semua orang bisa menjadi pemimpin yang baik asalkan mereka mau menjalaninya dengan kejujuran dan ketulusan, termasuk gen z. Banyak hal yang bisa gen z lakukan untuk bisa memimpin dengan lebih baik.

Mereka bisa mengembangkan kapasitas kepemimpinannya. Menurut survei dari Training Magazine dan Wilson Learning Worldwide Inc di tahun 2022, ada empat kemampuan prioritas untuk pengembangan kepemimpinan: coaching, komunikasi, team leadership, dan kecerdasan emosional.

Selain dari pengembangan kapasitas, cara yang jauh lebih efektif adalah belajar dari pengalaman orang lain. Pengalaman adalah guru yang berharga dan bisa memberikan pelajaran penting.

Ada banyak orang yang telah menjadi pemimpin. Galilah pengalamannya dan serap apa praktik yang baik dan yang buruk. Belajarlah memimpin komunitas atau sukarelawan.

Menurut saya, itu tempat yang tepat karena sukarelawan adalah orang yang rela meluangkan waktu, tenaga, uang, dan pikiran untuk sesuatu yang mereka pedulikan. Keterlibatan dalam kegiatan volunteering, menurut Lockett & Boyd (2012) dapat meningkatkan kemampuan kepemimpinan seseorang dalam dua aspek: pengaruh dan persepsi terhadap diri sendiri.

Bell (2007) berkata bahwa program volunteering menjadi wadah yang kaya untuk mengembangkan kemampuan kepemimpinan seseorang. Semakin banyak pengalaman dan pengetahuan, juga didukung dengan kemampuan kepemimpinan yang baik, gen z akan menjadi seorang pemimpin yang baik.

Pemimpin yang mengayomi dan memanusiakan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang mengetahui apa yang harus dilakukan dan punya kompetensi yang hebat.

Oleh karena itu, gen z! Jangan terjebak dalam praktik pemimpin yang buruk. Media belajar telah banyak bertebaran, baik itu dari praktisi, artikel, maupun pengetahuan pribadi. Ada yang efektif, relevan, dan bisa dipraktikkan. Namun, ada juga yang sekadar menjadi pengingat untuk tidak melakukan praktik kepemimpinan yang buruk.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang baik, yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan multi-dimensi. Gen z adalah generasi masa depan yang pada akhirnya akan memegang estafet kepemimpinan.

Menurut saya, pemimpin yang buruk tidak lagi bisa ditolerir. Oleh karena itu, gen z: it is time for you to evolve into a great leader!

https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/27/070000965/jebakan-kepemimpinan-yang-buruk-pesan-untuk-gen-z

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke