Pada hari-hari HUT Ke 77 Kemerdekaan Indonesia, tiba saatnya kita ingat dan renung pesan para pahlawan kemerdekaan bangsa, yang berjuang dan berkorban untuk kemerdekaan. Pesan Panglima Besar Jenderal Sudirman, “Kita tidak bersiap untuk menyerang, tetapi untuk bertahan menyelamatkan nusa dan bangsa ... Bantulah sepenuhnya tiap-tiap usaha kekuatan negara dalam melakukan kewajiban terhadap negara, keluar dan ke dalam.” (Pusat Pembinaan Mental ABRI, 1992:116).
Kita juga ingat dan catat pesan Kepala Staf Oemoem TKR Jenderal Oerip Soemohardjo, “Seorang Putra Indonesia yang mengutamakan Karya daripada kata, yang mengutamakan Dharma daripada minta.”
Cuplikan Pidato ‘Tahun Vivero Pericoloso’, Presiden RI Soekarno (1964) berisi pesan : “Bagi saya sendiri, tiap-tiap kali sesudah saya pada 17 Agustus membacakan amanat kepada rakyat, sesudah saya masuk kembali ke Istana Merdeka, saya selalu duduk termenung beberapa menit; pertama, untuk menyatakan syukurku kepada Tuhan; kedua, untuk menikmati kekagumanku atas bangsaku Indonesia.”
Pada hari Jumat, 77 tahun silam, 17 Agustus tahun 1945, pukul 10.00 WIB di Jalan Pegangsaan
Timur No. 56, Jakarta, Ir. Soekarno yang didampingi antara lain oleh Drs. Moh. Hatta, dokter KRT Radjiman Wedyodiningrat, Sam Ratulangi, dan Teuku Moh. Hassan, membaca Teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, yang disusun di rumah Laksamana Tadashi Maeda (Jl. Imam Bonjol No.1-Jakarta) Kamis 16 Agustus 1945 - dini hari 17 Agustus 1945.
Kita baca pesan Drs. Moh. Hatta tentang axiomata kapitalisme yakni risiko konflik kepentingan per orangan (individualisme) vs kepentingan umum (Republik), persaingan bebas atau laissez-faire yang tidak sesuai dengan corak sejarah, karakter, budaya, dan nilai kekeluargaan Bangsa Indonesia.
Risiko kapitalisme-liberalisme adalah seluruh unsur tata ekonomi seperti lahan, tenaga kerja, dan modal menjadi komoditas yang dapat dijual-beli dan demokrasi diubah ke dalam pola-pola hubungan pasar.
Dampaknya sangat hebat untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia di dunia. Karena sistem negara demokratis akhirnya terpaut erat ke dalam sistem kapitalisme. Bukan sebaliknya (Polanyi, 2001: 78; Macpherson, 2006: 9-10). Ini pula renungan bagi bangsa Indonesia pada peringatan ke-77 kemerdekaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.