Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Cita-cita Kemerdekaan Bangsa dan Strategi Trisakti Soekarno

Kompas.com - 15/08/2022, 11:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN Vivere Pericoloso” adalah judul pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1964.

Hari ini 17 Agustus 1964. Tiap 17 Agustus mempunjai arti-pentingnja sendiri, significance-nja sendiri. Di antara bulan-bulan jang dua-belas itu, Agustus adalah jang terkeramat bagi kita. Amerika dan Perantjis mengkeramatkan bulan Djuli; Tiongkok dan Soviet Uni bulan Oktober; Kita mengkeramatkan bulan Agustus, bulan Proklamasi!” kata Soekarno dalam pidatonya itu.

Pidato 'Vivere Pericoloso’ Soekarno diterjemahkan oleh kantor berita Antara ke edisi bahasa Inggris dan disebarkan oleh Harian Rakjat edisi 19 Agustus 1964 (Pauker, 1967). ‘Vivere Pericoloso’ berasal dari istilah Italia, bermakna, “hidup di lingkungan berbahaya”.

Presiden RI Soekarno menyebut ‘nekolim’—neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme sebagai bentuk ancaman nyata terhadap upaya meraih cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia masa itu.

Baca juga: Vivere Pericoloso

Melalui pidato ‘Tahun Vivere Pericoloso’, Soekarno merilis pesan ke level kawasan, khususnya setiap negara Asia-Afrika tentang spirit Konferensi Asia-Afrika Bandung (1955), yakni “...keharusan setiap negara Asia-Afrika untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi, bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan.”

Dari sini lahir gagasan Presiden Soekarno tentang Strategi Trisakti: ‘Berdikari bidang ekonomi, berdaulat (merdeka) bidang politik, dan berkepribadian bidang kebudayaan.”

Soekarno melihat bentuk-bentuk neo-kolonialisme lazim sangat halus dan tidak kentara. Bentuknya mungkin saja aliran pinjaman-investasi asing yang berisiko gusur rakyat dari tanah di bawah kakinya. Maka Presiden Soekarno, misalnya, berupaya memperkuat rantai-manunggal rakyat dengan Tanah-Air melalui program land-reform atau upaya swa-sembada pangan.

Pesan dan pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1964 itu tentu masih sangat relevan dan penting hingga saat ini dan masa-masa datang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut Presiden Soekarno, neokolonialisme adalah penjajahan by proxy, penjajahan by remote control, dan penjajahan 'dari jarak jauh'.

Strategi Trisakti Soekarno

Unsur pokok tiap strategi hanya dua yakni penentuan titik (patokan atau dasar) dan skala waktu. Titik atau dasar-patokan harus benar-benar kokoh dan fundamental. Sebab jika titik berubah, maka arah, kecepatan, dan mata-rantai tantangan, ancaman, gangguan, dan hambatan juga berubah.

Di depan Sidang Pertama Rapat Besar BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Juni 1945 di Jakarta, Soekarno, anggota BPUPKI,
menyatakan titik-patokan dasar Indonesia merdeka adalah philosophische grondslag yaitu Pancasila. Weltanshauung Bangsa Indonesia adalah Pancasila.

Pilihan strategis untuk Indonesia merdeka, menurut Soekarno, ialah simpul dasar kebangsaan. “Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia... Satu nationale staat!” papar Soekarno.

Simpul dasar negara-bangsa (nationale staat), menurut Soekarno, ialah rakyat dan tanah-air; bangsa tidak hanya lahir karena kesamaan sejarah, seperti pandangan Ernest Renan, sosiolog Prancis, atau kesamaan cita-cita seperti pandangan Otto Bauer dalam bukunya Die Nationalitatenfrage.

Baca juga: Sidang Pertama BPUPKI: Tokoh, Kapan, Tujuan, Proses, dan Hasil

Menurut geopolitik, maka Indonesialah Tanah Air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera. Itulah Tanah Air kita!,” papar Soekarno di depan Rapat Besar BPUPKI Jumat 1 Juni 1945.

Maka unsur pokok Strategi Trisaksi Soekarno ialah rakyat dan tanah-air.

“Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian; persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari Bumi yang ada di bawah kakinya,” begitu papar Soekarno.

Bagaimana memahami Strategi Trisaksi Soekarno itu?

Marsekal Madya (Purn) Teddy Rusdy, dalam buku Jati Diri, Doktrin, dan Strategi TNI (2016), menegaskan bahwa doktrin dan jati diri harus berasal dan tumbuh dari akar-budaya bangsa, dengan memperhitungkan faktor-faktor geografis dan demografis bangsa. Karena itu, misalnya, pola pikir, sikap, tindakan (keputusan atau program kebijakan), kebiasaan yang hendak atau berisiko memisahkan rakyat dari Bumi di bawah kakinya, itu pula pintu masuk dari bentuk-bentuk penjajahan, ketidak-adilan atau anti-perikemanusiaan.

Presiden Soekarno membayangkan bahwa Strategi Trisakti dapat melahirkan suatu transformasi warga-negara dan masyarakat melalui proses ‘the universal revolution of man’. Perubahan itu antara lain melibatkan fase: romantika, dinamika, dan dialektika guna melawan ‘bahaya’ yakni neokolonialisme, imperialisme, dan kolonialisme (nekolim).

Selama ini, ahli-ahli strategi selalu memasukkan dan memperhitungkan unsur-unsur mekanika (fisika) dan dialektika. Misalnya, Carl von Clausewitz, penulis Om Kriege atau On War (1976, 1984), dan rekan-rekan pendidikannya diajarkan oleh ahli fisika Paul Erman tentang fisika, khususnya mekanika (Paret, 1976: 310–311).

Saat mengikuti pendidikan di Kriegsakademie, Clausewitz juga mempelajari karya-karya filsafat dialektika Immanuel Kant. Sedangkan untuk pelajaran fisika dasar, khususnya ilmu mekanika, misalnya, suatu ‘Center of Gravity’ (CoG) dipahami sebagai simpul konvergensi dari kekuatan-kekuatan gravitasi dalam satu obyek (Jones et al, 1993: 52-55).

Tiap strategi harus teliti memperhitungkan konvergensi kekuatan-kekuatan gravitasi dari suatu objek. CoG negara-bangsa, misalnya, ialah manunggal rakyat dan tanah-air; jika rakyat tidak lagi manunggal dengan tanah-air, tidak ada negara-bangsa.

Tidak ada negara tanpa rakyat; Tidak ada negara tanpa tanah-air. Rakyat dan tanah-air adalah unsur pokok dari Strategi Trisaksi. Maka hak-hak ulayat, hak perdata rakyat, dan sejenisnya, harus diakui, dijamin, dan dilindungi oleh negara-bangsa.

Barangkali gagasan trisaksi berbasis negara-bangsa tersebut di atas seolah-olah tidak relevan dengan tren lima jagat negara akhir-akhir ini: laut, udara, darat, antariksa, dan digital (maya). Prof. Soepomo, SH, anggota BPUPKI, pada Sidang BPUKI 29 Mei 1945 di Jakarta merilis pidato : “Pembangunan negara bersifat barang bernyawa. ... janganlah kita meniru belaka susunan negara lain.” 

Cita-cita kemerdekaan bangsa

Drs. Moh. Hatta, proklamator kemerdekaan Indonesia mencatat pesan khusus: “Pergerakan atau bangsa patah, karena pemimpinnya tidak mempunyai karakter.”

Jati diri bangsa Indonesia ialah nilai-nilai asli dan universal Pancasila.  Presiden Soekarno berpidato pada Peringatan Lahir Pancasila, filosofische grondslag Indonesia, 1 Juni 1964 di Kota Yogyakarta: “Aku tidak mendapat wahju; Aku bukan Nabi; Aku sekedar menggali Pantja Sila di Bumi Indonesia sendiri!” (Kedaulatan Rakjat, Selasa 1 Juni 1964).

Cita-cita dan sifat kebatinan Bangsa Indonesia, papar Profesor Raden Soepomo,SH
(1945), adalah persatuan hidup, saling-pengaruh, dan keseimbangan antara alam fisik (luar) dan alam batin (dalam), makrokosmos dan mikrokosmos, rakyat dan para pemimpinnya.

Maka negara-bangsa adalah suatu bernyawa yang berintikan rakyat, tanah, dan air. Merawat Bumi (tanah, air, pohon, dan tanaman) adalah merawat nilai-nilai kebaikan dari kebenaran dan kehidupan ciptaan Tuhan Maha Esa. Dari bumi tumbuh tanaman dan pohon. Tanaman menghasilkan benih dan biji-bijian; pohon menghasilkan buah dan benih.

Para petani menanam benih dan menyediakan pangan untuk setiap orang di Bumi. Hujan turun menyiram bumi; benih tumbuh dan hidup. Semua ciptaan Tuhan Maha Esa itu baik.

Kaidah fundamental Indonesia berkedaulatan rakyat ialah Alinea IV Pembukaan UUD
1945 yaitu Pancasila. Dari sudut strategi, jika titik-patokan dasar bergeser, maka kecepatan, arah, dan sasaran juga berisiko berubah. Jika patokan dasar landasan gerak ideologi, politik, sosial, budaya dan pertahanan-keamanan (ipoleksusbudhankam) negara bergeser ke arah neoliberalisme, maka kecepatan, arah, dan sasarannya juga berubah.

Sasaran pembentukan Negara-Bangsa Indonesia ialah terciptanya masyarakat bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta lestarinya sehat ekosistem negara (seluruh tumpah darah) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ini pula sasaran Strategi Trisaksi.

Pada hari-hari HUT Ke 77 Kemerdekaan Indonesia, tiba saatnya kita ingat dan renung pesan para pahlawan kemerdekaan bangsa, yang berjuang dan berkorban untuk kemerdekaan. Pesan Panglima Besar Jenderal Sudirman, “Kita tidak bersiap untuk menyerang, tetapi untuk bertahan menyelamatkan nusa dan bangsa ... Bantulah sepenuhnya tiap-tiap usaha kekuatan negara dalam melakukan kewajiban terhadap negara, keluar dan ke dalam.” (Pusat Pembinaan Mental ABRI, 1992:116).

Kita juga ingat dan catat pesan Kepala Staf Oemoem TKR Jenderal Oerip Soemohardjo, “Seorang Putra Indonesia yang mengutamakan Karya daripada kata, yang mengutamakan Dharma daripada minta.”

Cuplikan Pidato ‘Tahun Vivero Pericoloso’, Presiden RI Soekarno (1964) berisi pesan : “Bagi saya sendiri, tiap-tiap kali sesudah saya pada 17 Agustus membacakan amanat kepada rakyat, sesudah saya masuk kembali ke Istana Merdeka, saya selalu duduk termenung beberapa menit; pertama, untuk menyatakan syukurku kepada Tuhan; kedua, untuk menikmati kekagumanku atas bangsaku Indonesia.”

Pada hari Jumat, 77 tahun silam, 17 Agustus tahun 1945, pukul 10.00 WIB di Jalan Pegangsaan
Timur No. 56, Jakarta, Ir. Soekarno yang didampingi antara lain oleh Drs. Moh. Hatta, dokter KRT Radjiman Wedyodiningrat, Sam Ratulangi, dan Teuku Moh. Hassan, membaca Teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, yang disusun di rumah Laksamana Tadashi Maeda (Jl. Imam Bonjol No.1-Jakarta) Kamis 16 Agustus 1945 - dini hari 17 Agustus 1945.

Kita baca pesan Drs. Moh. Hatta tentang axiomata kapitalisme yakni risiko konflik kepentingan per orangan (individualisme) vs kepentingan umum (Republik), persaingan bebas atau laissez-faire yang tidak sesuai dengan corak sejarah, karakter, budaya, dan nilai kekeluargaan Bangsa Indonesia.

Risiko kapitalisme-liberalisme adalah seluruh unsur tata ekonomi seperti lahan, tenaga kerja, dan modal menjadi komoditas yang dapat dijual-beli dan demokrasi diubah ke dalam pola-pola hubungan pasar.

Dampaknya sangat hebat untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia di dunia. Karena sistem negara demokratis akhirnya terpaut erat ke dalam sistem kapitalisme. Bukan sebaliknya (Polanyi, 2001: 78; Macpherson, 2006: 9-10). Ini pula renungan bagi bangsa Indonesia pada peringatan ke-77 kemerdekaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com