DALAM beberapa hari terakhir, gemuruh perbincangan publik didominasi oleh langkah pemblokiran yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atas beberapa situs dan aplikasi yang melakukan kegiatan usaha secara digital.
Pemblokiran dilakukan karena situs dan aplikasi tersebut belum melakukan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.
Kemenkominfo menyatakan telah menetapkan tenggat waktu pada para PSE Lingkup Privat untuk segera melakukan pendaftaran, yang kemudian sampai batas akhir tenggat belum dapat dipenuhi oleh mereka.
Peraturan tersebut mengatur dan mewajibkan PSE Lingkup Privat yang bergerak dalam enam kategori kegiatan usaha untuk melakukan pendaftaran via Kemenkominfo, yakni:
Dampaknya, gelombang protes berdatangan dari masyarakat yang terdampak atas pemblokiran tersebut, utamanya kreator konten digital, pemain dan pengembang gim.
Selain itu, para pekerja digital yang mata pencahariannya berkaitan erat dengan situs dan aplikasi yang diblokir tersebut.
Bahkan situs PSE Kemenkominfo mendapatkan serangan siber secara bertubi-tubi hingga 20 juta serangan per hari.
Belakangan, Kemenkominfo membuka pemblokiran secara sementara terhadap beberapa situs dan aplikasi seperti Paypal, Yahoo Search Engine, Steam, Dota 2, dan CS:GO setelah mendapat banyaknya masukan—juga kritikan—dari berbagai pihak.
Berulang kali Kemenkominfo menegaskan bahwa apa yang dilakukannya bukannya tanpa dasar, yang berangkat dari kesadaran untuk menegakkan kedaulatan digital (digital sovereignty).
Sebuah konsep yang terus mengalami perkembangan, juga memunculkan banyak perdebatan paradigmatik.
Kedaulatan digital merupakan isu kunci yang jarang terbahas dalam diskursus transformasi digital yang umumnya diramaikan dengan wacana pemanfaatan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Justru ia berkaitan dengan problematika yang seringkali luput dari bahasan arus utama, seperti ketimpangan ekonomi dan pendapatan pascadigitalisasi, ketimpangan kuasa antarnegara, hingga ancaman keamanan data pribadi.
Konsep tersebut tidak muncul dari ruang hampa. Ia hadir di tengah kekhawatiran akan semakin unilateral-nya tata kelola internet global yang makin lama—sebagaimana dikutip dari Jagat Digital (Agus Sudibyo, 2019)—cenderung dikontrol oleh keinginan, kepentingan, ambisi dan rencana Amerika Serikat (US-centric extraterritorial internet).
Melalui beberapa kesempatan, negara-negara berkembang berupaya untuk mengoreksi dominasi Amerika Serikat dengan mendorong lembaga multilateral di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti International Telecommunication Union (ITU) agar mampu memainkan peran sebagai otoritas internet global, namun nampaknya belum membuahkan hasil maksimal.
Maka kemudian, di tengah absennya regulator tertinggi yang mengatur tata kelola internet secara global, tiap negara akhirnya memainkan peranannya secara sendiri-sendiri untuk menegakkan daulat mereka di ranah digital, seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui Kemenkominfo saat ini.