Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kedaulatan Digital dan Tantangan Implementasi Kebijakan

Pemblokiran dilakukan karena situs dan aplikasi tersebut belum melakukan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.

Kemenkominfo menyatakan telah menetapkan tenggat waktu pada para PSE Lingkup Privat untuk segera melakukan pendaftaran, yang kemudian sampai batas akhir tenggat belum dapat dipenuhi oleh mereka.

Peraturan tersebut mengatur dan mewajibkan PSE Lingkup Privat yang bergerak dalam enam kategori kegiatan usaha untuk melakukan pendaftaran via Kemenkominfo, yakni:

  1. Melakukan penawaran atau perdangan barang/jasa
  2. Menyediakan layanan transaksi keuangan
  3. Menyediakan layanan materi digital berbayar
  4. Menyediakan layanan komunikasi
  5. Menyediakan layanan mesin pencari
  6. Melakukan pemrosesan data pribadi untuk transaksi elektronik

Dampaknya, gelombang protes berdatangan dari masyarakat yang terdampak atas pemblokiran tersebut, utamanya kreator konten digital, pemain dan pengembang gim.

Selain itu, para pekerja digital yang mata pencahariannya berkaitan erat dengan situs dan aplikasi yang diblokir tersebut.

Bahkan situs PSE Kemenkominfo mendapatkan serangan siber secara bertubi-tubi hingga 20 juta serangan per hari.

Belakangan, Kemenkominfo membuka pemblokiran secara sementara terhadap beberapa situs dan aplikasi seperti Paypal, Yahoo Search Engine, Steam, Dota 2, dan CS:GO setelah mendapat banyaknya masukan—juga kritikan—dari berbagai pihak.

Menjaga kedaulatan

Berulang kali Kemenkominfo menegaskan bahwa apa yang dilakukannya bukannya tanpa dasar, yang berangkat dari kesadaran untuk menegakkan kedaulatan digital (digital sovereignty).

Sebuah konsep yang terus mengalami perkembangan, juga memunculkan banyak perdebatan paradigmatik.

Kedaulatan digital merupakan isu kunci yang jarang terbahas dalam diskursus transformasi digital yang umumnya diramaikan dengan wacana pemanfaatan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.

Justru ia berkaitan dengan problematika yang seringkali luput dari bahasan arus utama, seperti ketimpangan ekonomi dan pendapatan pascadigitalisasi, ketimpangan kuasa antarnegara, hingga ancaman keamanan data pribadi.

Konsep tersebut tidak muncul dari ruang hampa. Ia hadir di tengah kekhawatiran akan semakin unilateral-nya tata kelola internet global yang makin lama—sebagaimana dikutip dari Jagat Digital (Agus Sudibyo, 2019)—cenderung dikontrol oleh keinginan, kepentingan, ambisi dan rencana Amerika Serikat (US-centric extraterritorial internet).

Melalui beberapa kesempatan, negara-negara berkembang berupaya untuk mengoreksi dominasi Amerika Serikat dengan mendorong lembaga multilateral di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti International Telecommunication Union (ITU) agar mampu memainkan peran sebagai otoritas internet global, namun nampaknya belum membuahkan hasil maksimal.

Maka kemudian, di tengah absennya regulator tertinggi yang mengatur tata kelola internet secara global, tiap negara akhirnya memainkan peranannya secara sendiri-sendiri untuk menegakkan daulat mereka di ranah digital, seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui Kemenkominfo saat ini.

Tantangan demokrasi

Jika merujuk pada ‘semangat’ yang diusung dalam konsep kedaulatan digital di atas, upaya Kemenkominfo dengan mendorong dan memaksa PSE Lingkup Privat untuk mendaftarkan kegiatan usaha digitalnya merupakan langkah strategis menegakkan norma dan aturan main Indonesia.

Kemenkominfo mengibaratkan pendaftaran tersebut layaknya ‘tamu yang harus melepas alas kaki sebelum masuk ke dalam rumah’, memancangkan daulat sang tuan rumah atas tamu.

Namun demikian, problemnya adalah pendekatan serta instrumen yang digunakan Kemenkominfo dalam menegakkan kedaulatan digital.

Dalam praktik demokratik yang jamak di tata kelola internet, pemblokiran harus menjadi langkah terakhir (last resort) dengan didukung rationale yang jelas, mempertimbangkan prinsip nesesitas dan proporsionalitas, serta yang paling utama: dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum.

Hal tersebut juga perlu didukung dengan kepekaan terhadap kondisi yang dirasakan warga sebagai subjek yang paling terdampak.

Pemblokiran Paypal, platform layanan keuangan digital yang banyak digunakan para pekerja lepas di sektor digital, justru memberikan dampak negatif besar.

Mereka tidak dapat menarik dan memindahkan uang digital tersebut—meskipun para pengguna ini tak kurang akal ‘menyiasati’ pemblokiran lewat pemanfaatan teknologi pula.

Pembukaan sementara atas blokir Paypal juga sedikit-banyak merupakan buah dari tuntutan dan cecuit para pekerja digital yang membanjiri berbagai kanal media.

Dalam konteks kebijakan publik, pengambilan kebijakan berbasis viralitas (viral-based policy) sebagaimana tergambar nyata pada kasus pencabutan sementara atas pemblokiran Paypal di satu sisi menggambarkan betapa berpengaruhnya desakan publik dalam perumusan dan penetapan kebijakan publik kita.

Namun di sisi lain, hal tersebut menggambarkan kelemahan paling fundamental dalam menyusun kebijakan publik: kurang sigap mendengar suara-suara publik di tahapan formulasi, sehingga seseorang harus menyatakan kegelisahannya di ruang publik hingga menjadi viral dan sampai ke telinga para perumus kebijakan publik.

Oleh karenanya, apa yang telah kadung terjadi saat ini seyogyanya dapat menjadi perhatian dan pembelajaran ke depan bagi kita semua.

Pertama, praktik penegakkan kedaulatan digital tak bisa lepas dari dijunjung-tingginya prinsip-prinsip demokratik.

Kedua, perumusan serta penetapan kebijakan publik wajib berpulang pada kepentingan plus nilai publik yang sejatinya menjadi raison d’etre bagi eksistensi negara.

Karena sesungguhnya—mengutip The Good Society (Robert Bellah dkk, 1991)—demokrasi adalah upaya memberikan perhatian (paying attention), yang sudah sepatutnya menjadi cahaya pemandu bagi tiap langkah-upaya yang dilakukan negara terhadap warganya.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/04/081619165/kedaulatan-digital-dan-tantangan-implementasi-kebijakan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke