SAAT saya kecil, kira-kira di era menonton televisi adalah hiburan keluarga selepas magrib, ada dialog klise dalam tiap sinetron yang kami tonton.
“Sarapannya sudah siap, Den.”
“Bapak pergi dinas ke luar kota, Den.”
“Ibu lagi arisan di Puncak, Den.”
Begitu kira-kira yang diucapkan oleh pemeran asisten rumah tangga (atau pembantu) bernama dan berlogat medok Jawa, kepada anak dari majikannya.
Pemeran laki-laki yang dipanggil “Den” itu umumnya memiliki dua ciri khas: 1) kalau perannya adalah seorang bocah SD, ia berbadan sedikit tambun untuk menunjukkan bahwa inilah gizi anak konglomerat, 2) kalau perannya adalah remaja puber, dandanannya klimis.
Meski demikian, yang lebih menarik perhatian adalah nama panggilan yang kemudian saya ketahui diambil dari “Raden”.
Sementara itu dalam ilmu yang terbatas, saya hanya mengetahui gelar “Raden” kalau bukan dari nama pahlawan Raden Dewi Sartika, ya Raden Ajeng Kartini (tanpa mendiskreditkan Pahlawan Nasional lainnya, sungguhlah saat kecil hanya mereka yang saya ketahui memiliki nama tersebut).
Entah memang kebiasaan orang Ibu Kota atau bukan, yang jelas sinetron menyuguhkan kalau anak laki-laki yang tinggal di rumah minimal berlantai dua, otomatis punya gelar kebangsawanan sebagai tuan muda.
Di sinetron, julukan “Den” jadi norma sosial yang dikonstruksi oleh sutradara agar setiap yang berkedudukan sebagai pembantu sadar kepada siapa mereka sedang berbicara.
Makanya saya sempat menduga bahwa para keturuan pahlawan kini telah merambah dunia seni teater modern.
Ternyata dugaan saya salah. Walaupun memang ada sejumlah nama, tapi “Den” dalam sinetron tak ada sangkut pautnya dengan nama para pahlawan.
Apalagi, gelar itu secara spesifik hanya ditujukan kepada anak laki-laki karena yang perempuan dipanggil “Non”.
Di era sebelum kemerdekaan hingga orde lama, ada “Bung” (dulu Boeng) sebagai sapaan istimewa khusus buat kaum lanang yang dipopulerkan Soekarno, meski sebelumnya telah lazim digunakan di Bengkulu.
Penggunaan sapaan ini memiliki sedikit perbedaan: “Bung” di Bengkulu adalah untuk laki-laki yang dihormati (mungkin bisa untuk kakak atau suami), sementara “Bung” versi Soekarno lebih persuasif untuk gerakan revolusi.