Selain terkait pandemi, Bhima menjelaskan, kenaikan tingkat suku bunga di berbagai negara juga menjadi faktor sebuah perusahaan startup memutus hubungan kerja ratusan karyawannya.
"Secara makro kenaikan tingkat suku bunga di berbagai negara membuat investor mencari aset yang lebih aman," terangnya.
"Imbasnya saham startup teknologi dianggap high risk," imbuh Bhima.
Baca juga: Pahami Pajak UMKM dan Cara Menghitungnya
Bahkan, mayoritas pengamat memperkirakan bahwa 2022 merupakan winter-nya startup. Artinya, perusahaan startup akan merasakan tekanan sell-off besar-besaran di industri digital.
"Apakah ini hanya temporer? Yang jelas banyak startup kesulitan mendapatkan pendanaan baru dan investor makin selektif dalam memilih startup," kata Bhima.
Peristiwa ini mengulang tech bubble pada 2001. Ujungnya, hanya akan tersisa pemenang yang memang bisnis modelnya mampu teruji.
"Dulu kan ada Amazon, E-bay yang lolos ujian dotcom bubble, mungkin sekarang waktunya startup di Indonesia diuji oleh pasar," ujarnya.
Baca juga: Begini Aturan Pajak bagi UMKM atau Pengusaha Olshop
Faktor berikutnya adalah winner takes all yang merupakan peta persaingan startup.
"Kalau e-commerce ada top 3 pemain, maka jangan harap pemain kecil bisa bersaing. Begitu juga terjadi di edutech, banyak yang tidak bersaing karena kurang pendanaan akhirnya tersisih dari pasar," terang Bhima.
Sebenarnya, faktor promosi produk dan bakar uang efektif mengurangi jumlah persaingan secara signifikan.
Namun, jika cashflow cukup tidak kuat, startup akan kalah dan digantikan oleh perusahaan lain yang gencar promosi.
"E-commerce itu sudah saturated, begitu juga dengan bisnis payment atau dompet digital, edutech saya lihat sudah mulai jenuh," ungkapnya.
Baca juga: Cara Cek Bantuan UMKM dan Ambil Antrean Secara Online
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.