PENDIDIKAN selalu menarik untuk diperbincangkan dan dikritik karena esensi pendidikan diarahkan pada upaya mengubah manusia dan manusia mengubah dunia. Paulo Freire, tokoh pendidik asal Brasil yang sangat kritis mengenai pendidikan mengungkapkan, “Education does not change the world. Education changes people. People change the world”.
Demokratisasi pendidikan bukan hanya sekedar prosedur, tetapi juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusia. Dalam hal ini, melalui upaya demokratisasi pendidikan diharapkan mampu mendorong munculnya individu yang kreatif, kritis, dan produktif tanpa mengorbankan martabat dan dirinya.
Kehidupan demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi individu yang berada dalam kebersamaaan. Dengan demikian segala bentuk penyamarataan individu dalam satu uniformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat-sifat individu bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi.
Baca juga: Jokowi: Dunia Dilanda Pandemi dan Perang, tapi Pendidikan Anak Jangan Terabaikan
Secara historis, istilah ini memang berasal dari Barat, namun jika dilihat dari segi makna, kandungan, nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh demokrasi itu sendiri sebenarnya merupakan gejala dan cita-cita kemanusiaan secara universal.
Artinya, dalam beragam macam peradaban manusia seperti Mesir, China, Persia, India, dan Arab misalnya memiliki pemikirannya sendiri dalam memahami dan memperjuangkan hak-hak individu dan kemanusiaan, dan memiliki sejarahnya sendiri dalam memerangi otoritarianisme dan kediktatoran. Ini berarti jika demokrasi itu berjuang pada pembelaan hak dan martabat manusia, maka tidak dapat disangkal bahwa demokrasi merupakan gejala kemanusiaan secara universal.
Menurut Freire, alam semesta sebagai ruang kelasnya pendidikan demokratis, untuk dimanfaatkan sebagai proses pendidikan yang selaras dengan perkembangan zamannya baik perasaan, bahasa, maupun alam pikirannya. Freire tak henti-hentinya mencari bentuk-bentuk baru kesadaran kritis dan menggali hubungan-hubungan baru antara penindasan dalam pelbagai bidang dengan proses penyadaran yang membebaskan.
Benang merah yang menyatukan karyanya adalah kesadaran kritis sebagai penggerak emansipasi kultural sebagai nilai utama demokrasi. Situasi penindasan, salah satu akibatnya dapat melahirkan kebudayaan bisu, yakni munculnya ketidakberdayaan dan ketakutan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan sendiri. Karena itu, sikap memilih diam sering tidak hanya dianggap sebagai sikap dan perilaku santun, tetapi juga menjadi situasi khas di kelas-kelas perkuliahan dan pembelajaran lainnya.
Gagasan tersebut memberi inspirasi tentang muatan yang seharusnya ada dalam pendidikan, sekaligus sebagai landasan kesadaran kritis kita terhadap tendensi sistem pendidikan di negara-negara modern sekarang ini, khususnya di Indonesia.
Sebab pada kenyataannya, ia tidak hanya membongkar kepentingan negara dalam pendidikan, tetapi juga berbagai kepentingan ideologi yang merasuk dan mematikan kesadaran manusia. Dalam konteks ini semua ideologi mempunyai potensi hegemoni bagi kebebasan manusia yang fitrah. Bahkan agama kalau sudah menjadi alat hegemoni juga masuk dalam ketagori menindas yang berada di bawah pemandu kekuasaan.
Pendidikan yang masih berfokus pada pengajaran teknis yang sempit di dalam tembok-tembok disiplin ilmu tidak akan pernah mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kesadaran kritis. Di dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, pendidikan yang berfokus pada penciptaan kesadaran kritis amatlah diperlukan. Sebuah negara yang masih berfokus pada melatih orang untuk bekerja sesuai tuntutan pasar kerja tidak akan mampu menciptakan kultur demokratis yang diperlukan, guna menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera melalui jalan-jalan demokratis.
Pola pendidikan kita dewasa ini masih berorientasi pada menciptakan tenaga kerja siap pakai menjawab kebutuhan penguasa. Sebetulnya pola pendidikan seperti ini masih sama dengan pola pendidikan kolonial sebagaimana dikritik Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar, sekolah di zaman kolonial masih merefleksikan kepentingan para penjajah. Aspirasi dan kebutuhan mereka yang dijajah diabaikan. Kelompok penjajah mengungkap nilai-nilai dan budaya masyarakat terjajah dan menegaskan superioritas mereka. Dalam sistem pendidikan kolonial, seseorang diasingkan dari budaya aslinya dan bahkan pendidikan hanya milik penjajah dan kelompok elite pribumi yang ikut mendukung kepentingan mereka.
Sebagai alat penyadaran, pendidikan dirumuskan oleh Paulo Freire untuk melawan semua bentuk penindasan yang terjadi pada masyarakat Sao Paulo, Brasil pada masa dia hidup. Ia berpendapat bahwa pendidikan tidak boleh steril dari politik. Sebaliknya pendidikan harus mampu ikut serta di dalam proses untuk mewujudkan politik yang berakar pada keadilan. Pendidikan harus melibatkan dirinya di dalam dinamika sosial masyarakat, termasuk di dalamnya dinamika ekonomi, politik, dan budaya.
Baca juga: Sejarah Hari Pendidikan Nasional 2 Mei
Freire juga menegaskan bahwa pendidikan perlu untuk membuka mata peserta didik terhadap penindasan yang terjadi di depan matanya, yang mungkin selama ini belum disadari. Pengandaian dasar Freire adalah bahwa realitas selalu menyimpan ketidakadilan dan penindasan di baliknya. Realitas harus terus dicurigai sebagai sesuatu yang menyembunyikan ketidakadilan. Proses pendidikan adalah proses untuk menyadarkan peserta didik, sehingga mereka tergerak untuk membongkar ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di depan mata mereka.
Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970), Friere menegaskan pendidikan diarahkan pada dialog dan partisipasi, bukan adaptasi karena dialog melahirkan kesetaraan. Freire juga mendedikasikan pendidikan untuk mereka yang tertindas. Sistem pendidikan yang menekankan pembelajaran sebagai aksi kultural dan pembebasan. Pembebasan didasari pada conscientization-membentuk kesadaran individu dan masyarakat.