Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fortunatus Hamsah Manah
Komisioner Bawaslu Manggarai

Koordinator Divisi Hukum, Penindakan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT

Pendidikan Demokratis

Kompas.com - 04/05/2022, 13:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENDIDIKAN selalu menarik untuk diperbincangkan dan dikritik karena esensi pendidikan diarahkan pada upaya mengubah manusia dan manusia mengubah dunia. Paulo Freire, tokoh pendidik asal Brasil yang sangat kritis mengenai pendidikan mengungkapkan, “Education does not change the world. Education changes people. People change the world”.

Demokratisasi pendidikan bukan hanya sekedar prosedur, tetapi juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusia. Dalam hal ini, melalui upaya demokratisasi pendidikan diharapkan mampu mendorong munculnya individu yang kreatif, kritis, dan produktif tanpa mengorbankan martabat dan dirinya.

Kehidupan demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi individu yang berada dalam kebersamaaan. Dengan demikian segala bentuk penyamarataan individu dalam satu uniformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat-sifat individu bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi.

Baca juga: Jokowi: Dunia Dilanda Pandemi dan Perang, tapi Pendidikan Anak Jangan Terabaikan

Secara historis, istilah ini memang berasal dari Barat, namun jika dilihat dari segi makna, kandungan, nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh demokrasi itu sendiri sebenarnya merupakan gejala dan cita-cita kemanusiaan secara universal.

Artinya, dalam beragam macam peradaban manusia seperti Mesir, China, Persia, India, dan Arab misalnya memiliki pemikirannya sendiri dalam memahami dan memperjuangkan hak-hak individu dan kemanusiaan, dan memiliki sejarahnya sendiri dalam memerangi otoritarianisme dan kediktatoran. Ini berarti jika demokrasi itu berjuang pada pembelaan hak dan martabat manusia, maka tidak dapat disangkal bahwa demokrasi merupakan gejala kemanusiaan secara universal.

Pendidikan sebagai alat penyadaran

Menurut Freire, alam semesta sebagai ruang kelasnya pendidikan demokratis, untuk dimanfaatkan sebagai proses pendidikan yang selaras dengan perkembangan zamannya baik perasaan, bahasa, maupun alam pikirannya. Freire tak henti-hentinya mencari bentuk-bentuk baru kesadaran kritis dan menggali hubungan-hubungan baru antara penindasan dalam pelbagai bidang dengan proses penyadaran yang membebaskan.

Benang merah yang menyatukan karyanya adalah kesadaran kritis sebagai penggerak emansipasi kultural sebagai nilai utama demokrasi. Situasi penindasan, salah satu akibatnya dapat melahirkan kebudayaan bisu, yakni munculnya ketidakberdayaan dan ketakutan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan sendiri. Karena itu, sikap memilih diam sering tidak hanya dianggap sebagai sikap dan perilaku santun, tetapi juga menjadi situasi khas di kelas-kelas perkuliahan dan pembelajaran lainnya.

Gagasan tersebut memberi inspirasi tentang muatan yang seharusnya ada dalam pendidikan, sekaligus sebagai landasan kesadaran kritis kita terhadap tendensi sistem pendidikan di negara-negara modern sekarang ini, khususnya di Indonesia.

Sebab pada kenyataannya, ia tidak hanya membongkar kepentingan negara dalam pendidikan, tetapi juga berbagai kepentingan ideologi yang merasuk dan mematikan kesadaran manusia. Dalam konteks ini semua ideologi mempunyai potensi hegemoni bagi kebebasan manusia yang fitrah. Bahkan agama kalau sudah menjadi alat hegemoni juga masuk dalam ketagori menindas yang berada di bawah pemandu kekuasaan.

Ilustrasi pendidikan untuk anak-anakThinkstock Ilustrasi pendidikan untuk anak-anak
Penindasan secara struktural inilah yang pada gilirannya melahirkan proses pemiskinan, baik pada lapangan ekonomi, politik, sosial budaya, maupun ideologi. Dengan demikian demoralisasi yang dilakukan oleh struktur negara melalui penyeragaman cara berfikir yang termuat dalam sistem pendidikan telah mengakibatkan suatu kondisi di mana kesadaran yang muncul dalam diri peserta didik bukanlah kesadaran kritis sebagai manusia yang mempunyai akal pikiran, melainkan kesadaran naif yang bertumpu pada pemikiran pragmatis.

Pendidikan yang masih berfokus pada pengajaran teknis yang sempit di dalam tembok-tembok disiplin ilmu tidak akan pernah mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kesadaran kritis. Di dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, pendidikan yang berfokus pada penciptaan kesadaran kritis amatlah diperlukan. Sebuah negara yang masih berfokus pada melatih orang untuk bekerja sesuai tuntutan pasar kerja tidak akan mampu menciptakan kultur demokratis yang diperlukan, guna menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera melalui jalan-jalan demokratis.

Pola pendidikan kita dewasa ini masih berorientasi pada menciptakan tenaga kerja siap pakai menjawab kebutuhan penguasa. Sebetulnya pola pendidikan seperti ini masih sama dengan pola pendidikan kolonial sebagaimana dikritik Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar, sekolah di zaman kolonial masih merefleksikan kepentingan para penjajah. Aspirasi dan kebutuhan mereka yang dijajah diabaikan. Kelompok penjajah mengungkap nilai-nilai dan budaya masyarakat terjajah dan menegaskan superioritas mereka. Dalam sistem pendidikan kolonial, seseorang diasingkan dari budaya aslinya dan bahkan pendidikan hanya milik penjajah dan kelompok elite pribumi yang ikut mendukung kepentingan mereka.

Sebagai alat penyadaran, pendidikan dirumuskan oleh Paulo Freire untuk melawan semua bentuk penindasan yang terjadi pada masyarakat Sao Paulo, Brasil pada masa dia hidup. Ia berpendapat bahwa pendidikan tidak boleh steril dari politik. Sebaliknya pendidikan harus mampu ikut serta di dalam proses untuk mewujudkan politik yang berakar pada keadilan. Pendidikan harus melibatkan dirinya di dalam dinamika sosial masyarakat, termasuk di dalamnya dinamika ekonomi, politik, dan budaya.

Baca juga: Sejarah Hari Pendidikan Nasional 2 Mei

Freire juga menegaskan bahwa pendidikan perlu untuk membuka mata peserta didik terhadap penindasan yang terjadi di depan matanya, yang mungkin selama ini belum disadari. Pengandaian dasar Freire adalah bahwa realitas selalu menyimpan ketidakadilan dan penindasan di baliknya. Realitas harus terus dicurigai sebagai sesuatu yang menyembunyikan ketidakadilan. Proses pendidikan adalah proses untuk menyadarkan peserta didik, sehingga mereka tergerak untuk membongkar ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di depan mata mereka.

Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970), Friere menegaskan pendidikan diarahkan pada dialog dan partisipasi, bukan adaptasi karena dialog melahirkan kesetaraan. Freire juga mendedikasikan pendidikan untuk mereka yang tertindas. Sistem pendidikan yang menekankan pembelajaran sebagai aksi kultural dan pembebasan. Pembebasan didasari pada conscientization-membentuk kesadaran individu dan masyarakat.

Di Indonesia mayoritas guru dan dosen belum menerapkan pemikiran Freire tersebut. Mereka berfokus pada transfer pengetahuan teknis, tanpa ada dorongan lebih jauh untuk membuka mata peserta didik terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi sehari-hari.

Akibatnya peserta didik menjadi tidak peka terhadap situasi sekitar mereka. Dan lebih parah lagi, mereka justru menjadi orang-orang yang melanggengkan dan bahkan mengembangkan praktek penindasan sosial yang ada.

Pola pendidikan semacam itu sama sekali tidak membebaskan dan menyadarkan. Sebaliknya pola pendidikan semacam itu pada akhirnya akan menghancurkan masyarakat secara umum. Para peserta didik dijadikan alat produksi penguasa. Mereka merasa diuntungkan dengan adanya penindasan, maka mereka lalu diam saja, atau justru memperparah keadaan. Dalam arti ini tujuan pendidikan telah gagal sejak awal.

Ilustrasi anak sekolah di luar negeri (Dok. Unsplash) Ilustrasi anak sekolah di luar negeri
Pendidikan demokratis

Dalam pendidikan, demokrasi ditunjukkan dengan pemusatan perhatian serta usaha pada si anak didik. Di kalangan Taman Siswa dianut sikap tut wuri handayani, suatu sikap demokratis yang mengakui hak si anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya.

Dengan demikian pembebasan haruslah memperhatikan aspek-aspek tertentu. Ini untuk menghindari terjadinya pembiasan makna pembebasan, sebab seringkali pembebasan di artikan sebagai pertolongan; suatu arti yang tidak tepat sama sekali. Alasannya pertolongan berpotensi menciptakan ketergantungan. Ketergantungan itu sendiri, menurut Freire adalah titik lemah. Oleh karena itu, praktek pembebasan juga harus memahami ketergantungan itu sebagai titik lemah dan harus mencoba lewat refleksi dan tindakan untuk mengubahnya menjadi ketidaktergantungan.

Pendidikan demokratis memiliki konsekuensi bagi terbentuknya desentralisasi kewenangan, di mana pengelolaan pendidikan akan banyak di tentukan oleh pelaksana langsung, baik pengelola, tenaga kependidikan, maupun masyarakat dalam menciptakan isi materi sistem pembelajaran, termasuk pengembangan kualitas peserta didik.

Di sisi lain, pendidikan demokratis akan berdampak pula pada aspek kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan, serta pemerataan terhadap perolehan pendidikan masyarakat.

Usaha sosialisasi demokrasi di Indonesia melalui jalur pendidikan formal tampaknya masih membutuhkan jalan panjang. Reformasi orientasi pendidikan kewarganegaraan sudah semestinya dilakukan baik peraturan, materi maupun pelaksanaannya di lapangan. Orientasi pendidikan kewarganegaraan yang bertujuan untuk mengembangkan sikap demokratis dan daya kritis peserta didik selayaknya di jadikan common plat-form para pengambil kebijakan pendidikan nasional. Kesamaan pandangan ini selanjutnya dapat dituangkan ke dalam penyusunan kurikulum yang sejalan dengan semangat dan tuntutan demokrasi.

Menurut A Ubaidilllah, pendekatan belajar ini, memusatkan perhatian pada kemampuan analisis anak terhadap pengetahuan dan pemahaman yang mereka miliki, dan guru mengarahkannya untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari.

Adapun pendidikan demokratis berkaitan dengan bagaimana proses pendidikan di laksanakan, baik di tingkat pusat maupun lokal. Sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik tanpa memperhatikan pluralisme subjek pendidik, sudah saatnya harus di inovasi agar tercipta civil society.

Suasana pendidikan yang demokratis akan mendorong tumbuhnya iklim egalitarian artinya kesamaan atau kesetaraan derajat dalam kebersamaan antara peserta didik dan pendidik. Secara sederhana, demokratisasi pendidikan dapat diartikan sebagai proses pendidikan yang di laksanakan sesuai dengan cita-cita dan kehendak civil society.

Di dalam masyarakat demokratis, setiap orang berhak untuk berpikir dan menyampaikan pemikirannya tersebut. Ia berhak untuk membentuk kelompok ataupun organisasi, dan menyampaikan pemikirannya di dalam organisasi itu. Dalam arti ini dapatlah disimpulkan, bahwa konsep kebebasan sangatlah penting di dalam masyarakat demokratis. Namun kebebasan macam apa yang perlu untuk dirawat dan dikembangkan?

Pendidikan harus diarahkan ke praksis pembebasan. Pendidikan yang ideal, seharusnya berorientasi kepada nilai-nilai humanisme, mengembalikan kodrat manusia menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau objek. Pendidikan seharusnya menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia dari kondisi ketertindasan di mana proses belajar hendaknya berbentuk “investigasi kenyataan”.

Maksudnya, proses pendidikan itu melibatkan indentifikasi permasalahan yang terjadi di masyarakat. Konteks pendidikan negara agraris misalnya, kurikulum pendidikannya juga harus melibatkan realitas permasalahan pertanian di dalamnya. Pendidikan yang dialogis dengan yang tertindas dapat menuntun pada dunia yang lebih manusiawi.

Lagi-lagi Friere menawarkan solusi dengan konsep Problem Possing Education. Pendidikan “hadap-masalah”: Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia.

Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta didik supaya ada kesadaran akan realitas tersebut. Kesadaran akan tumbuh dari pergumulan dengan realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri mereka.

Praktek pendidikan yang membebaskan berakar pada kesadaran kritis orang yang tergerak oleh penindasan ataupun ketidakadilan sosial yang terjadi di depan matanya. Kebebasan di dalam masyarakat demokratis bukanlah kebebasan tanpa arah dan anarkis, melainkan kebebasan yang berorientasi pada upaya-upaya kritis, guna menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Dalam arti ini kebebasan dan kesadaran kritis adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Pendidikan memainkan peranan yang sangat penting untuk menciptakan kesadaran kritis di pikiran para peserta didik karena di tangan merekalah masa depan Bangsa Indonesia dipertaruhkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Tren
Menakar Peluang Timnas Indonesia Vs Guinea Lolos ke Olimpiade Paris

Menakar Peluang Timnas Indonesia Vs Guinea Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?

Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?

Tren
Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

Tren
Apa Itu Vaksin? Berikut Fungsi dan Cara Kerjanya di Dalam Tubuh Manusia

Apa Itu Vaksin? Berikut Fungsi dan Cara Kerjanya di Dalam Tubuh Manusia

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com