Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dandi Supriadi, MA (SUT), PhD,
Dosen Jurnalistik

Kepala Kantor Komunikasi Publik Universtas Padjadjaran. Dosen Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Selain minatnya di bidang Jurnalisme Digital, lulusan pendidikan S3 bidang jurnalistik di University of Gloucestershire, Inggris ini juga merupakan staf peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Unpad.

Makhluk Apakah Jurnalisme Digital Itu?

Kompas.com - 09/04/2022, 08:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BENTUK karya jurnalisme telah bermetamorfosa ke dalam beberapa format sepanjang sejarah. Format yang paling iconic dan menjadi asal muasal kata jurnalisme tentu saja Acta Diurna, medium pengumuman publik pada masa Kekaisaran Romawi.

Medium ini pertama muncul tahun 131 SM, namun baru ditujukan bagi publik tahun 59 SM, tepatnya pada masa pemerintahan Julius Caesar.

Secara bentuk, Acta Diurna dapat dikatakan sebagai karya jurnalisme pertama yang dapat dibaca publik dalam format tercetak.

Dalam hal ini, informasinya dicetak dengan cara dipahatkan di atas bahan batu atau logam.

Sejak kemunculan medium tersebut, kegiatan jurnalisme terus berkembang walaupun Acta Diurna berhenti beberapa tahun sebelum pusat Kekaisaran Romawi dipindahkan ke Bizantium (Konstantinopel) tahun 324 M.

Selain kegiatannya yang terus dilakukan oleh warga dunia, bentuk karya jurnalisme mengalami banyak perubahan.

Mulai dari berbentuk surat kabar setelah adanya penemuan mesin cetak, kemudian suara setelah diciptakannya radio siaran, lalu berbentuk gambar bergerak bersuara di era kemunculan televisi.

Di masa sekarang, kemasan-kemasan karya jurnalistik yang pernah ada telah semakin membaur seiring tren kovergensi yang didukung oleh kehadiran teknologi digital dan internet.

Sempat beredar istilah-istilah untuk menggambarkan penetrasi jurnalisme yang merambah format digital dalam jaringan internet.

Ada istilah jurnalisme online yang kemudian diterjemahkan ke dalam konteks bahasa Indonesia menjadi jurnalisme daring (dalam jaringan).

Baca juga: Metaverse dalam Jurnalisme

Lalu sempat pula berkembang istilah jurnalisme multimedia, atau bahkan jurnalisme media sosial.

Dewan Pers bahkan menggunakan istilah jurnalisme siber, sebagai interpretasi dari cyber journalism.

Di antara berbagai istilah tersebut, terselip terminologi yang sering disebut dari waktu ke waktu sejak awal teknologi digital muncul.

Awalnya istilah tersebut tidak pernah menjadi sebutan resmi, namun saat ini justru menjadi istilah paling universal di dunia studi jurnalisme, yaitu digital journalism atau jurnalisme digital.

Jurnalisme digital sudah menjadi nama mata kuliah atau spesialisasi di berbagai perguruan tinggi dunia, seperti di University of South Florida USA atau juga di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Indonesia.

Lalu apakah itu jurnalisme digital? Apa perbedaannya dengan bentuk karya jurnalisme yang lain?

Pengertian jurnalisme digital

Pada prinsipnya, istilah jurnalisme digital muncul ketika wartawan menggunakan berbagai sumber daya digital saat melakukan kegiatan jurnalistik.

Kegiatan yang dimaksud dimulai dari sejak pencarian objek berita, pengumpulan dan seleksi data, produksi berita, sampai dengan pendistribusian berita kepada publik.

Juga termasuk mencari umpan balik dari khalayak, di mana dengan teknologi digital, pihak media dapat berinteraksi aktif dengan khalayaknya dan demikian pula sebaliknya secara simultan.

M. Ashari dalam artikelnya yang dipublikasikan di Inter Komunika: Jurnal Komunikasi (2019) menyebutkan, jurnalisme digital pada awal tahun 2010-an disamaartikan dengan istilah lain yang lebih tren pada masa itu, seperti jurnalisme online, jurnalisme multimedia, atau juga jurnalisme siber.

Baca juga: Pers: Antara Medsos, Hoaks, dan Kurasi

Namun belakangan, istilah jurnalisme digital menjadi lebih banyak dipakai, berkaitan dengan sifat pemakaiannya.

Beberapa pengertian yang berasal dari pakar-pakar studi jurnalisme dipakai sebagai acuan seperti apa filosofi jurnalisme digital yang membedakannya dengan jurnalisme tradisional.

Salah satunya dari R. Salaverria (2019) yang menjelaskan jurnalisme digital sebagai segala bentuk kegiatan jurnalisme yang memanfaatkan sumber daya digital.

Salaverria lebih melihat istilah jurnalisme digital dari penggunaan teknologi digital oleh wartawan.

Berdasarkan risetnya selama 25 tahun, evolusi media digital ditandai oleh bagaimana media melakukan eksplorasi bentuk dan strategi penggunaan platform digital untuk memublikasikan informasi.

Pengertian lainnya datang dari M. Deuze (2017) yang melihat praktik jurnalisme digital pada penekanan penggunaan media sosial.

Dalam jurnalisme digital, media sosial berfungsi untuk mengumpulkan informasi dan memverifikasi sumber informasi.

Deuze juga menyejajarkan jurnalisme digital dengan penyampaian kisah (storytelling) informasi melalui penggunaan perangkat digital dan penggabungan saluran atau platform.

Jurnalisme digital juga dapat diartikan dengan melihat pola aktivitas jurnalisme setelah kemunculan teknologi digital.

Malik dan Shapiro (2017) menyebutkan beberapa pola yang dapat mengidentifikasi keberadaan jurnalisme digital.

Pertama adalah adanya interaktivitas antara produsen dengan khalayak. Kedua, terciptanya kolaborasi antara wartawan lapangan dan penulis beritanya.

Ketiga, ada publikasi yang konvergen sebagai konsekuensi dari penggunaan multimedia.

Keempat, ada impact yang lebih terasa sebagai hasil pola penyebaran konten yang lebih global, yaitu melalui jaringan internet.

Dari beberapa pengertian di atas, keberadaan jurnalisme digital tidak dilepaskan dari adanya saluran distribusi yang dapat menjangkau khalayak dengan luas serta memungkinkan tumbuhnya berbagai alternatif platform di dalamnya.

Saluran tersebut adalah jaringan internet. B. Franklin dan S. Eldridge dalam studinya di tahun 2017 menemukan kecenderungan perusahaan media yang bergerak ke arah diseminasi informasi secara multiplatform melalui jejaring internet.

Dapat dilihat dengan bervariasinya konten yang ada dalam situsnya, yang merupakan gabungan pemakaian berbagai medium informasi seperti blog, video digital, podcast dan galeri foto.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian jurnalisme digital adalah kegiatan jurnalisme yang menggunakan berbagai sumber daya digital dalam proses pencarian, pengumpulan, penulisan, dan pendistribusian informasi, serta memanfaatkan media multiplatform yang dimungkinkan keberadaanya dalam jejaring internet sebagai upayanya dalam melakukan storytelling.

Dari segi aktivitas jurnalisme dan nilai berita yang mendasari publikasi berita, dapat dikatakan tidak ada perbedaan antara jurnalisme tradisional dan jurnalisme digital.

Seperti yang dikatakan K. Kawamoto (2003), jurnalisme digital sejatinya adalah bentuk praktik jurnalisme lama, namun dalam konteks yang baru.

Ia memandang jurnalisme digital sebagai sebuah sintesis dari tradisi dan inovasi di bidang jurnalisme.

Hal itu ia ungkapkan karena sebenarnya kegiatan jurnalisme adalah sebuah praktik lama dan telah terdefinisikan sejak kemunculan Acta Diurna.

Jadi prinsip kerja jurnalisme akan selalu sama, apapun konteks atau media yang digunakan.

Artinya, jurnalisme digital berbicara tentang pengembangan sumber daya yang terlibat dalam produksi berita termasuk perangkat yang digunakan, bukan konten atau nilai beritanya.

Dengan penggunaan sumber daya digital, maka khalayak akan dapat mengakses berbagai genre informasi dalam format yang lebih berkembang dan memberikan pengalaman eksplorasi yang lebih interaktif dibandingkan format berita tradisional.

Perubahan sifat jurnalis dan khalayak digital

Tantangan yang dihadapi media arus utama dan tradisional dalam memasuki jurnalisme digital adalah perubahan sifat sumber daya manusia yang terlibat. Bukan hanya dari sisi media atau jurnalisnya, namun juga khalayaknya.

Dari sisi jurnalis, James Mahon dari University of the West of Scotland (2021) mendeteksi perubahan pola kerja wartawan dan media massa dalam memroduksi berita.

Temuan beberapa akademisi yang ia kumpulkan dari seluruh dunia menunjukkan bahwa teknologi media sosial telah mengubah cara bagaimana berita diproduksi dan dimanfaatkan.

Sebagai akibatnya, cara kerja jurnalis turut berubah. Salah satunya perubahan mereka dari yang tadinya bekerja dalam kelompok dan berkantor di perusahaan medianya, menjadi bisa bekerja sendiri atau dari jarak jauh.

Menurunnya produktivitas dan pemasukan media tradisional membuat organisasi media harus melakukan efisiensi.

Salah satunya dengan mengubah kebutuhan keahlian reporter yang kini bergeser ke arah keahlian media sosial dan digital.

Seperti yang ditemukan Mahon, keberadaan posisi spesifik semakin berkurang, sehingga banyak reporter kemudian berperan ganda menjadi videografer, editor dan kreator sosial media sekaligus.

Dalam beberapa hal, didukung oleh kehadiran teknologi digital, ini merupakan efisiensi yang baik dengan kualitas karya yang canggih dan terintegrasi.

Namun, kualitas jurnalismenya tetap menjadi pertanyaan, dan dalam beberapa hal membuat krebilitas jurnalis kemungkinan menurun di mata khalayak.

Di sisi khalayak, Joëlle Swart dan rekan-rekannya (2022) menemukan kenyataan bahwa di era digital ini telah terjadi perubahan radikal di masyarakat dalam hal melihat dunia jurnalisme.

Menurut mereka, setidaknya ada tiga kenyataan yang kurang mengenakan bagi organisasi media.

Pertama, kenyataan bahwa khalayak tidak lagi menganggap jurnalis sebagai sumber informasi yang bermanfaat, mencerahkan, penting, atau relevan.

Mereka justru lebih percaya kepada kasir sebuah toko kelontong yang dianggap lebih mewakili tugas jurnalis dalam menyampaikan informasi yang memenuhi kebutuhan mereka.

Kedua, masih berhubungan dengan yang pertama, adalah kenyataan bahwa khalayak tidak lagi menganggap berita sama dengan jurnalisme.

Ini adalah akibat dari teknologi digital yang mengaburkan batasan-batasan dalam jurnalisme yang dahulu memberikan sifat khusus pada kebenaran informasi. Konsekuensinya, informasi atau berita dianggap dapat diperoleh dari siapapun.

Kenyataan ini tidak hanya melahirkan pemikiran baru tentang praktik jurnalisme, namun juga pertanyaan eksistensial mengenai peran dan tujuan dari pendidikan jurnalisme.

Ketiga, adanya pilihan dari khalayak untuk tidak lagi menggunakan produk jurnalisme, yang berlawanan dengan anggapan umum para peneliti jurnalisme bahwa berita dan jurnalisme adalah hal yang selalu bagus dan menarik.

Konsekuensinya, walaupun ada banyak berita yang diproduksi oleh jurnalis, namun tidak selalu menarik perhatian khalayak untuk menggunakannya.

Menurunnya kepercayaan kepada institusi jurnalisme ini kemungkinan besar disebabkan oleh karakteristik informasi digital yang semakin mudah dibuat dan didapatkan secara instan.

Bukan saja dilakukan oleh khalayak, tapi juga sangat mungkin dilakukan oleh jurnalis sendiri karena adanya kemudahan yang diberikan teknologi digital.

Usman Kansong, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, dalam sebuah kesempatan menyatakan, salah satu tantangan jurnalisme di era disrupsi digital adalah apa yang dia sebut sebagai jurnalisme instan atau instant journalism.

Istilahnya itu merujuk kepada kegiatan jurnalisme yang begitu saja mengutip informasi dari sumber yang tidak terverifikasi, misalnya dari media-media sosial.

Salah satu akibatnya adalah menyebarnya disinformasi, misinformasi, malinformasi, atau hoaks.

Semua ini terjadi karena teknologi digital dalam kegiatan jurnalisme berkembang dalam jejaring internet yang memungkinkan setiap orang menulis atau mengabarkan sesuatu.

Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan teknologi informasi digital inilah yang memungkinkan setiap orang dapat memproduksi informasi dan disebarkan ke khalayak luas. Hal ini terutama terjadi dalam media sosial.

Ini mengakibatkan terjadinya kekaburan etika pembuatan konten publik karena karakteristik media sosial berbeda dengan media massa.

Di pihak lain, media sosial menjadi tempat bagi jurnalis di era digital ini untuk dengan cepat menemukan hal apa yang menjadi kebutuhan publik.

Media sosial juga menjadi sumber untuk mengetahui masalah apa yang terjadi di tengah masyarakat yang membutuhkan perhatian jurnalis dan perlu untuk diperjuangkan.

Hal ini menjadi krusial karena pada dasarnya jurnalisme memiliki karakter sebagai advokat bagi kepentingan publik.

Inilah yang kemudian menjadi tantangan terbesar dalam dunia pendidikan jurnalisme, di mana pola-pola dan prinsip-prinsip yang sangat menjaga terpeliharanya kebenaran menjadi kabur karena adanya kemudahan dalam menyebarkan dan mengakses informasi digital.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa filosofi utama dalam kajian jurnalisme digital adalah pemanfaatan teknologi digital untuk pengembangan kualitas informasi serta upaya untuk mempertahankan prinsip-prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab kepada publik untuk menyebarkan kebenaran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Tren
Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Tren
Saya Bukan Otak

Saya Bukan Otak

Tren
Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Tren
Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Tren
8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

Tren
Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Tren
Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Tren
7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

Tren
Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU 'Self Service', Bagaimana Solusinya?

Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU "Self Service", Bagaimana Solusinya?

Tren
Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Tren
Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Tren
6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

Tren
BPJS Kesehatan: Peserta Bisa Berobat Hanya dengan Menunjukkan KTP Tanpa Tambahan Berkas Lain

BPJS Kesehatan: Peserta Bisa Berobat Hanya dengan Menunjukkan KTP Tanpa Tambahan Berkas Lain

Tren
7 Rekomendasi Olahraga untuk Wanita Usia 50 Tahun ke Atas, Salah Satunya Angkat Beban

7 Rekomendasi Olahraga untuk Wanita Usia 50 Tahun ke Atas, Salah Satunya Angkat Beban

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com