SEJAK ramainya kabar penggantian nama perusahaan Facebook yang dipimpin Mark Zuckerberg menjadi META akhir 2021 lalu, keberadaan metaverse menjadi topik hangat akhir-akhir ini.
Berbagai gagasan untuk pemanfaatannya merambah ke berbagai sektor kehidupan, termasuk di dalamnya, pemanfaatan di bidang jurnalisme.
Perkembangan praktik jurnalistik yang didistribusikan dalam realitas versi lain melalui dunia meta atau virtual dewasa ini diwarnai dengan kemunculan inovasi-inovasi yang sebelumnya mungkin hanya ada di cerita fiksi ilmiah saja.
Contohnya, bagaimana jurnalis dapat menghadirkan kejadian dengan membawa khalayaknya seakan-akan berada di lokasi melalui teknologi Virtual Reality (VR).
Ada juga penambahan informasi digital yang seakan-akan dapat muncul di dunia nyata melalui perangkat Augmented Reality (AR).
Perkembangan ini terjadi berkat kemajuan teknologi di bidang komunikasi yang memanfaatkan jaringan internet dan pembangunan algoritma yang semakin canggih hingga dapat menciptakan dunia alternatif dengan karakter serupa dengan dunia nyata.
Pertanyaannya, apa fungsi dari perkembangan teknologi metaverse bagi dunia jurnalistik?
Apakah memang penting dan perlu bagi jurnalis untuk bergabung dengan dunia alternatif seperti ini?
Pada awal Januari 2022, Nic Newman memublikasikan hasil riset di bawah Reuters Institute for the Study if Journalism dan University of Oxford.
Isinya adalah prediksi tentang tren jurnalisme, media, dan teknologi tahun 2022 berdasarkan survei kepada para pengelola media di 52 negara (Newman, 2022).
Berdasarkan riset tersebut, metaverse menjadi salah satu dari lima format berita yang diprediksi akan menjadi tren.
Walaupun jumlah responden survei yang memilih kemasan berita multiverse hanya 8 persen, namun hal ini menjadi catatan sebagai salah satu fokus media tahun 2022.
Minat mengembangkan jurnalisme metaverse kemungkinan didasarkan pada kondisi khalayak yang sebagian besar mengandalkan pengunduhan informasi dari internet.
Pengunduhan tersebut dilakukan rata-rata melalui perangkat bergerak (mobile).
Prestianta (2020) dalam artikelnya mencatat, dari 175 juta orang Indonesia yang terkoneksi ke internet hampir seluruhnya (98 persen) mengakses internet melalui perangkat telepon genggamnya.
Akibatnya, produk-produk yang dapat diakses dengan mudah melalui perangkat bergerak yang terhubung dengan internet menjadi pilihan utama untuk dipasarkan kepada khalayak.
Di perangkat semacam itulah, metaverse hidup dan berkembang.
Berkembangnya metaverse juga dapat dikaitkan dengan kondisi di mana para jurnalis muda yang termasuk digital native banyak menyalurkan potensinya yang dekat dengan teknologi.
Hal itu membuat mereka menjadi incaran kelompok-kelompok konglomerasi media besar yang sedang beralih ke platform digital untuk memenangkan persaingan dengan raksasa digital internasional (Tapsell, 2017).
Di wadah inilah inovasi metaverse memiliki tempat yang leluasa untuk berkembang.
Istilah metaverse yang pertama kali muncul dalam sebuah novel karya Neal Stephenson berjudul Snow Crash menggambarkan struktur fiksi terbuat dari kode-kode yang hanya bisa dipahami komputer.
Melalui internet, kode-kode tersebut terbaca sebagai realitas yang dapat dilihat dan dirasakan secara virtual.
Tokoh utama dalam cerita ini, Hiro Protagonist, mencari dunia alternatif untuk menghindari kondisi ekonomi yang kacau di dunia nyata.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.