Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Kisah Herawati Diah yang Jadi Google Doodle 3 April 2022: Tentang Hidup yang Penuh

Kompas.com - 03/04/2022, 16:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENJELANG pecahnya Perang Pasifik yang oleh Jepang disebut Perang Asia Raya, mingguan berbahasa Jawa Penyebar Semangat disebut memasang foto seorang gadis.

Dalam keterangan foto dikatakan bahwa gadis ini sedang dalam perjalanan pulang dari Amerika, mampir di Filipina, dan diterima Presiden Manuel Quezon di Istana Malacanang.

Gadis itu, Herawati Diah. Di kemudian hari, Herawati adalah orang pertama Indonesia yang pada 1995 mendapatkan Bintang Mahaputra dari Pemerintah Indonesia dalam kapasitasnya sebagai wartawan

Herawati memang bukan orang berprofesi wartawan yang pertama menerima penghargaan kenegaraan. Namun, penerima sebelumnya mendapatkan penghargaan itu dalam kapasitas bukan sebagai wartawan. 

Fakta itu diungkap oleh mendiang wartawan senior Rosihan Anwar, saat memberi kata sambutan dalam syukuran penghargaan untuk Herawati itu. Rosihan juga adalah penerima BIntang Mahaputra pada 1973, bersama BM Diah, dan Jakob Oetama.

"Saya memperolehnya sebagai anggota MPR, Jakob karena anggota DPR, dan Diah karena bekas duta besar... Herawati memperoleh Mahaputra sebagai wartawan. Jadi saya merasa bangga, profesi kita sudah diwakili ..." ungkap Rosihan, sebagaimana diunggah harian Kompas di edisi 27 Agustus 1995. 

Lulusan jurnalistik pertama dari Amerika

Sebagaimana ditulis Soebagijo IN, sejarawan pers, di harian Kompas edisi 28 Juni 2000, Herawati adalah perempuan pertama Indonesia yang meraih gelar akademik dari Amerika Serikat. Di situ dituliskan bahwa Herawati menggenggam gelar Bachelor of Arts dari Columbia University. 

Lahir di Tanjungpandang, Bangka Belitong, pada 3 April 1917, Siti Latifah Herawati berangkat ke Amerika Serikat pada 1937. Anak dari dokter Latip dan Alimah ini menjalani pendidikannya di Barnard College, Columbia University, sebagai satu-satunya orang asing.

Dalam tulisan Soebagijo, Herawati mengungkap alasannya memilih jurnalistik sebagai jalan hidup. 

"Sejak semula saya memang sudah tertarik kepada masyarakat. Saya suka manusia. Sebagai wartawan, kita bisa bergaul leluasa dengan segala lapisan masyarakat, mulai yang terbawah sampai yang teratas. Dari klerk kecil sampai kepala negara," ungkap dia.

Selain bersuamikan BM Diah yang juga dikenal sebagai wartawan, Herawati berbesan dengan Mohammad Said dan Ani Idrus, yang adalah keluarga tokoh wartawan dari harian Waspada, Medan. 

Pulang ke Indonesia setelah selesai kuliah di Amerika, dia menjadi penyiar radio Jepang di zaman sebelum kemerdekaan. Herawati menyebut pekerjaan itu dia lakoni semata karena terkait dengan urusan kemanusiaan.

Saat itu, tugasnya adalah membacakan surat dari para tawanan perang. Syarat pekerjaan itu adalah kefasihan berbahasa Inggris. Namun, pekerjaan itu juga yang mempertemukannya dengan BM Diah yang sama-sama bekerja di situ.

Menikah dengan BM Diah pada 18 Agustus 1942, Herawati memulai juga kiprahnya menulis dalam bahasa Indonesia. Dia mengakui, BM Diah-lah yang membuatnya melakoni itu. 

"Untuk apa kepandaianmu yang kau peroleh dari Amerika apabila tidak kau pergunakan?," ujar Herawati menirukan pesan Diah kepadanya.

Kritik pers Herawati

Herawati Diah saat berusia 97 tahun. Gambar diambil pada 17 April 2014.KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN Herawati Diah saat berusia 97 tahun. Gambar diambil pada 17 April 2014.

Masih dari tulisan Soebagijo, Herawati menyebut kebebasan pers sungguhlah bagus tetapi dia melihat praktiknya kebablasan dan melampaui batas etika.

Penyuguhan berita dan tulisan menurut dia terasa kurang profesional. Opini sering dijadikan berita dan wartawannya kurang membaca.

"Harus diakui bahwa kaum wartawannya memang cukup kreatif, penuh inisiatif sekaligus dinamis; tetapi sayang sekali sering kurang tepat penyajian beritanya. Padahal tiap informasi harus jujur dan benar," kutip Soebagijo dari Herawati.

Dicontohkan, dari pertemuan Komisi Nasional anti-Kekerasan terhadap Perempuan yang saat itu baru digelar. Menurut Herawati, yang ditanyakan wartawan justru tentang Soeharto, bukan soal yang sedang dibahas dalam pertemuan itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com