Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Komunikasi Kepemimpinan: Dinamika Pola Kerja Hybrid Era Pandemi

Kompas.com - 10/03/2022, 10:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ada banyak keuntungan ketika menerapkan pola komunikasi yang empati berdasarkan riset dari Ernst & Young 2021: meningkatkan efisiensi (87 persen), meningkatkan kreativitas (87 persen), inovasi (86 persen), dan meningkatkan pendapatan perusahaan (81 persen).

Banyak cara menerapkan komunikasi empati kepada karyawannya, tergantung dari preferensi pemimpin itu sendiri.

Tetapi, beberapa inisiatif ini bisa membantu pemimpin untuk lebih terkoneksi menurut riset dari Ernst & Young 2021: punya jadwal pertemuan tatap muka yang teratur (45 persen), memberikan ruang untuk umpan balik anonim (42 persen), berpartisipasi dalam capacity building (37 persen), memberikan pengingat bahwa karyawan ada di ruang yang aman untuk berdiskusi (36 persen), dan mengikuti pelatihan atau lokakarya (36 persen).

Pemimpin perlu mempertimbangkan juga karakteristik pesan yang akan disampaikan, mengingat komunikasi akan lebih intens di jalur daring.

Ada argumen yang menarik dari Sanders, et.al (2020). Dari sudut pandang teori atribusi untuk komunikasi krisis, para karyawan akan lebih paham pesan yang disampaikan dari manajemen jika pesannya jelas dan menonjol, konsisten, dan konsensual.

Misalnya, apabila seorang manajer mengirimkan email rutin ke karyawan untuk tetap menjaga kesehatan dan bunyi serta isi pesannya sama ke semua jajaran, maka karyawan dapat memahami bahwa perusahaan tempat mereka bekerja memperhatikan kesehatan mental karyawannya.

Pemimpin bisa menerapkan prinsip seperti yang diutarakan di atas supaya menunjukkan bahwa pemimpin peduli dan empati terhadap karyawannya.

Jadi catatan penting bahwa pemimpin juga perlu menyesuaikan kanal komunikasi mereka sesuai dengan apa yang digunakan karyawannya.

Tahun 2015 lalu, Gallup menemukan ada 74 persen karyawan yang tidak mendapatkan informasi. Oleh karena itu, butuh penyesuaian platform dan cara.

Slicktext, perusahaan text marketing menggelar riset tentang kanal komunikasi yang diinginkan karyawannya tahun 2019.

Mereka menemukan dua hal penting. Pertama, 47,7 persen karyawan akan lebih bahagia jika menerima lebih sedikit e-mail.

Kedua, 60,8 persen karyawan mengabaikan e-mail di tempat kerja. Artinya, komunikasi via e-mail jadi sesuatu yang perlu dihindari.

Karyawan lebih ingin mendapatkan informasi melalui pesan singkat. Bisa juga melalui WhatsApp, baik itu melalui grup ataupun personal chat.

Lalu, bagaimana seorang pemimpin berkomunikasi dengan karyawan yang kelelahan dan bahkan mengalami penurunan kesehatan mental?

Ini menjadi sebuah tantangan yang cukup sulit karena faktor penyebab kesehatan mental karyawan berbeda satu sama lain.

Tetapi, ini bisa diatasi dengan berkomunikasi dengan jelas apa ekspektasi kita terhadap karyawan kita.

Dan itu perlu pemimpin komunikasikan dengan baik. Riset dari Qualtrics and SAP 2020 menemukan bahwa 23 persen kesehatan mental masyarakat akan menurun jika manajernya tidak berkomunikasi dengan baik.

Oleh karena itu, penulis memiliki satu cara tambahan, yaitu menyisihkan satu hari dalam seminggu untuk bertemu, tetapi tidak membicarakan pekerjaan, apakah itu online atau offline.

Pertemuan ini lebih ke refleksi bagaimana dinamika di kantor selama satu minggu ini dan jika memungkinkan, karyawan dan manajer wajib untuk membuka kamera.

Ruang ini setidaknya bisa menambah intensitas mereka bertemu dalam satu forum yang sama untuk menguatkan ikatan sosial mereka, sehingga timbul rasa nyaman.

Setidaknya, cara ini bisa sedikit membuat mental karyawan sedikit lebih baik karena bisa mencurahkan perasaan mereka.

Safe space di sini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Menurut Neill & Bowen (2021), organisasi menggunakan metode survei, video conference, dan aplikasi mobile untuk mendengar keluhan karyawannya.

Cara ini juga bisa diaplikasikan oleh para pemimpin untuk mengetahui kondisi karyawannya, sehingga bisa mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi dan dinamika yang ada.

Singkatnya, komunikasi kepemimpinan yang efektif adalah komunikasi yang mengedepankan empati. Karena pemimpin berkomunikasi dengan manusia, mereka ingin dimengerti dengan baik.

Memang, sebagai karyawan, sudah menjadi kewajiban untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

Akan tetapi, pemimpin juga perlu sadar bahwa karyawan menghabiskan sebagian besar waktunya melakukan pekerjaan kantor.

Oleh karena itu, sebagai pemimpin di tempat kerja, menyediakan ruang kerja yang dinamis, kolaboratif, inovatif, dan empati menjadi sebuah kewajiban mutlak.

Selain itu, pemimpin dan karyawan saling membutuhkan satu sama lain. Tidak ada leadership tanpa followership yang baik. Begitu pula sebaliknya.

Sehingga, momen perubahan seperti ini bisa kita jadikan sebagai momen untuk menyesuaikan cara komunikasi kita kepada karyawan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com