Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Komunikasi Kepemimpinan: Dinamika Pola Kerja Hybrid Era Pandemi

Kompas.com - 10/03/2022, 10:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun, hasilnya sungguh menarik. Menurut survei dari Buffer 2021, perusahaan branding, 97,6 persen responden ingin bekerja remote selama karier mereka dan tidak kurang dari 97 persen akan merekomendasikan kerja remote.

Hasil yang sama juga ditemukan dalam survei Upwork 2021, di mana 68 persen manajer merasa lebih baik bekerja remote saat ini dibandingkan saat pertama kali memulai pola kerja remote.

Namun demikian, pola kerja seperti ini mengandung risiko. Dalam periode pandemi, muncul istilah zoom fatigue, yang sederhananya adalah kelelahan akibat terlalu sering bertemu secara virtual.

Kelelahan yang dirasakan para karyawan tentu berdampak pada pekerjaannya. Para peneliti di Universitas Stanford tahun 2021 menemukan, zoom fatigue lebih menyerang perempuan dibandingkan laki-laki.

Dari 10.322 responden, 1 dari 7 perempuan merasa luar biasa lelah, sedangkan rasio laki-laki yang mengalami kelelahan adalah 1 banding 20.

Selain zoom fatigue, tentu masalah lainnya adalah kesehatan mental yang turun. Bufquin, et.al (2021) ketika meneliti dampak COVID-19 terhadap kesehatan mental 585 karyawan restoran yang bekerja dengan karyawan yang cuti, menemukan hal yang sangat mengkhawatirkan.

Hasil temuan mereka mengungkapkan bahwa para karyawan yang bekerja rmengalami penurunan kesehatan mental sampai menggunakan narkoba dan alkohol dibandingkan karyawan yang cuti.

Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, terlebih pandemi membuat semua lini kehidupan terdisrupsi secara negatif.

Masalah kedua adalah soal berkurangnya ikatan sosial secara drastis. Sebelum pandemi, setiap hari kita bisa bertemu kolega kantor kita. Berdiskusi bahkan ada yang sampai menjadi teman dekat. Semua itu terjadi karena kita bertemu setiap hari kerja.

Namun, ketika pandemi datang, budaya berubah, dan preferensi budaya kerja juga berubah. Berkat teknologi, kita tidak perlu datang ke kantor, tetapi imbasnya adalah ikatan sosial.

Misalnya, survei dari PwC tahun 2021 menemukan, ada sebanyak 30 persen karyawan dalam kategori paling kurang berpengalaman yang ingin kerja remote hanya dilakukan satu hari saja.

Selain itu, 34 persen dari mereka merasa tidak produktif bekerja dari rumah. Padahal, menjalin ikatan sosial dengan rekan kerja dapat meningkatkan produktivitas.

Berdasarkan survei LinkedIn tahun 2014, sebanyak 46 persen profesional mengakui bahwa memiliki teman kerja bisa menambah kebahagiaan.

Kebahagiaan yang bertambah berimbas pada peningkatan produktivitas. Ikatan sosial menjadi sangat penting di lingkungan kerja, terlepas apakah dia berpengalaman lebih dari 10 tahun atau fresh graduated.

Gallup tahun 2018 juga menemukan bahwa orang yang memiliki teman baik di kantor akan tujuh kali lebih semangat dalam bekerja.

Namun demikian, meski belum tiba pada era sekarang, komunikasi antarkaryawan dan karyawan dan manajer juga kurang berkualitas.

Riset dari Quantum Workplace tahun 2017 mengungkapkan bahwa hanya 50,3 persen karyawan yang memiliki percakapan yang berkualitas dengan sesama karyawannya dan 51,9 persen karyawan dengan manajernya.

Selain itu, menurut survei yang sama, hampir setengah dari karyawan tidak mengutarakan apa yang mereka pikirkan, baik itu ke sesama karyawan (47,3 persen), maupun ke manajernya (51,9 persen).

Data di atas menunjukkan bagaimana komunikasi yang berjalan antara karyawan dan manajer cukup mengkhawatirkan dan bisa berdampak buruk.

Studi dari The Economist Intelligence Unit tahun 2018 menjelaskan secara gamblang dampak buruk dari komunikasi yang buruk: gagal dalam menyelesaikan proyek (44 persen), moral karyawan yang rendah (31 persen), melewatkan sasaran kinerja (25 persen), dan hilangnya penjualan (18 persen).

Dari data ini saja sudah tergambar bagaimana buruknya komunikasi memengaruhi kinerja.

Apa yang pemimpin bisa lakukan

Dalam model kerja hybrid, kita mungkin tidak akan bertemu teman antardivisi bahkan yang satu divisi karena perbedaan jadwal untuk pergi ke kantor atau mereka lebih memilih remote working.

Tetap bertemu, namun intensitasnya akan jauh lebih berkurang. Dinamika ini yang membutuhkan komunikasi yang holistik.

Survei dari Quantum Workforce pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa 81 persen karyawan mengatakan, miskomunikasi sering terjadi di tempat kerja.

Oleh karena itu, tantangan saat ini membutuhkan pemimpin untuk bisa mengubah hybrid work menjadi sesuatu yang bisa dinikmati oleh semua karyawan.

Pemimpin perlu merumuskan cara agar komunikasi bukan lagi masalah. Namun sebuah tantangan yang dapat diselesaikan dengan seni komunikasi handal dari pemimpinnya.

Pemimpin sebagai ujung tombak perlu membangun sistem komunikasi kepemimpinan yang efektif.

Sistem komunikasi yang mampu membuat karyawannya semangat dalam bekerja dan merasa memiliki sense of belonging di kantor, serta membuat mereka merasa dihargai dan diperhatikan.

Menciptakan budaya di mana karyawan dan manajer bisa mengutarakan apa yang mereka pikirkan tanpa merasa takut.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemimpin. Pertama, pemimpin perlu menerapkan komunikasi kepemimpinan yang empati.

Sudah banyak pakar maupun lembaga survei yang mengatakan pentingnya memiliki empati. Dan empati bisa mulai diterapkan dalam sistem komunikasi antara karyawan dan pemimpin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com