Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Komunikasi Kepemimpinan: Dinamika Pola Kerja Hybrid Era Pandemi

Kompas.com - 10/03/2022, 10:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

POLA kerja hybrid akan menjadi rutinitas sehari-hari di tempat kerja karena telah menjadi sebuah kebiasaan dan efektivitasnya teruji.

Studi dari PwC 2021 menemukan bahwa 83 persen karyawan mengakui perusahaan sukses menerapkan kerja hybrid, sementara 74 persen lainnya ingin mematenkan sistem itu.

Dengan kata lain, pola kerja hybrid menjadi keniscayaan di tengah proses digitalisasi ini.

Ini menjadi tren yang perlu pemimpin masa kini amati dan pikirkan bagaimana caranya berkomunikasi dengan para karyawan yang terpencar di berbagai penjuru.

Bicara tentang pekerjaan, tanpa komunikasi yang efektif, tentu tidak akan menghasilkan output yang maksimal.

Misalnya, ada satu karyawan yang tidak paham tentang instruksi yang diberikan oleh pimpinan di suatu perusahaan.

Kemudian ketika melakukan tugasnya, dia melakukan beberapa kesalahan meninterpretasikan arahan, di mana ini bisa menjadi hambatan bagi tercipta masalah berikutnya, persis efek domino.

Karena itu, pemimpin perlu merumuskan bagaimana caranya untuk berkomunikasi efektif dan pesannya tersampaikan dengan jelas.

Komunikasi kepemimpinan sebagai kunci

Komunikasi kepemimpinan menjadi hal penting untuk ditingkatkan, mengingat pola kerja saat pandemi sudah hybrid.

Komunikasi kepemimpinan lebih kepada bagaimana seorang pemimpin mengomunikasikan visi dan misi, serta budaya dan nilai-nilai inti yang dianut perusahaan.

Komunikasi kepemimpinan menjadi sangat penting karena basis untuk membangun rasa kepercayaan antara stakeholder yang ada di tempat kerja, baik kepada karyawan, mitra kerja, dan shareholder.

Komunikasi kepemimpinan menjadi kunci pembuka pelbagai miskoordinasi, misinterpretasi, miskomunikasi di dalam perusahaan.

Sulit rasanya apabila sosok pimpinan perusahaan Anda saat ini tidak memiliki keterampilan komunikasi kepemimpinan yang mumpuni.

Komunikasi kepemimpinan yang efektif tidak hanya dalam bentuk komunikasi verbal. Menurut Zulch (2014), komunikasi kepemimpinan meliputi karakter yang meliputi sikap, perilaku, dan kepribadian.

Sehingga, komunikasi di perusahaan akan berjalan lancar apabila pemimpin menggunakan komunikasi verbal dan non-verbal.

Konsekuensinya, apabila pemimpin mampu menyampaikan visi, misi, nilai dan budaya dengan baik, pemimpin dapat menavigasikan berbagai perubahan yang terjadi dan menghasilkan kebijakan efektif, serta karyawan akan merasa lebih ikut serta atau terlibat dalam pekerjaannya.

Apabila kita melihat dampak pemimpin terhadap karyawannya, Gallup pada tahun 2013 lalu menemukan bahwa manajer berkontribusi sebesar 70 persen terhadap kebahagiaan dan motivasi karyawan.

Artinya, komunikasi kepemimpinan memegang peran penting untuk menjalin hubungan antara karyawan dan pemimpin.

Selain itu, menurut States of Global Workplace yang dikeluarkan Gallup tahun 2021 lalu, tercatat hanya ada 20 persen karyawan yang engage dengan pekerjaannya.

Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena engage atau tidaknya mereka akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan hubungan mereka di perusahaan.

Berarti, 80 persen karyawan hanya bekerja atas dasar kewajiban kepada perusahaan dan keluarga.

Di sini kita melihat bahwa komunikasi kepemimpinan dapat menghadirkan empati dan mempertajam interaksi.

Perasaan yang dialami karyawan bisa jadi timbul karena kurangnya pemimpin untuk mengkomunikasikan tujuan perusahaan.

Hal ini divalidasi oleh hasil riset Ving, perusahaan konsultan kepemimpinan tahun 2014. Mereka menemukan bahwa 71 persen karyawan merasa pemimpinnya tidak menghabiskan waktu yang proporsional untuk menjelaskan nilai dan tujuan dari perusahaan.

Konsekuensinya adalah, para karyawan tidak terlalu terhubung dengan tujuan perusahaan sehingga mereka bekerja hanya untuk mendapatkan hak mereka.

Alasan di atas agaknya cukup logis untuk menjustifikasi mengapa komunikasi kepemimpinan sangat amat penting di setiap lini korporasi saat ini.

Pemimpin perlu bekerja lebih keras dan konsisten untuk membuat budaya komunikasi yang luwes dan terbuka, mulai dari jajaran tertinggi hingga terendah.

Terlebih, pandemi mengantarkan kita lebih cepat mampir di era hybrid work, di mana kombinasi pola kerja daring dan luring memunculkan tantangan tersendiri.

Dua tantangan baru

Ada dua tantangan yang muncul ketika bekerja hybrid. Pertama adalah soal kesehatan mental. Kedua adalah persoalan ikatan sosial.

Dua tahun terakhir, pandemi menguji kapasitas para pemimpin untuk beradaptasi dari cara kerja luring ke daring.

Namun, hasilnya sungguh menarik. Menurut survei dari Buffer 2021, perusahaan branding, 97,6 persen responden ingin bekerja remote selama karier mereka dan tidak kurang dari 97 persen akan merekomendasikan kerja remote.

Hasil yang sama juga ditemukan dalam survei Upwork 2021, di mana 68 persen manajer merasa lebih baik bekerja remote saat ini dibandingkan saat pertama kali memulai pola kerja remote.

Namun demikian, pola kerja seperti ini mengandung risiko. Dalam periode pandemi, muncul istilah zoom fatigue, yang sederhananya adalah kelelahan akibat terlalu sering bertemu secara virtual.

Kelelahan yang dirasakan para karyawan tentu berdampak pada pekerjaannya. Para peneliti di Universitas Stanford tahun 2021 menemukan, zoom fatigue lebih menyerang perempuan dibandingkan laki-laki.

Dari 10.322 responden, 1 dari 7 perempuan merasa luar biasa lelah, sedangkan rasio laki-laki yang mengalami kelelahan adalah 1 banding 20.

Selain zoom fatigue, tentu masalah lainnya adalah kesehatan mental yang turun. Bufquin, et.al (2021) ketika meneliti dampak COVID-19 terhadap kesehatan mental 585 karyawan restoran yang bekerja dengan karyawan yang cuti, menemukan hal yang sangat mengkhawatirkan.

Hasil temuan mereka mengungkapkan bahwa para karyawan yang bekerja rmengalami penurunan kesehatan mental sampai menggunakan narkoba dan alkohol dibandingkan karyawan yang cuti.

Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, terlebih pandemi membuat semua lini kehidupan terdisrupsi secara negatif.

Masalah kedua adalah soal berkurangnya ikatan sosial secara drastis. Sebelum pandemi, setiap hari kita bisa bertemu kolega kantor kita. Berdiskusi bahkan ada yang sampai menjadi teman dekat. Semua itu terjadi karena kita bertemu setiap hari kerja.

Namun, ketika pandemi datang, budaya berubah, dan preferensi budaya kerja juga berubah. Berkat teknologi, kita tidak perlu datang ke kantor, tetapi imbasnya adalah ikatan sosial.

Misalnya, survei dari PwC tahun 2021 menemukan, ada sebanyak 30 persen karyawan dalam kategori paling kurang berpengalaman yang ingin kerja remote hanya dilakukan satu hari saja.

Selain itu, 34 persen dari mereka merasa tidak produktif bekerja dari rumah. Padahal, menjalin ikatan sosial dengan rekan kerja dapat meningkatkan produktivitas.

Berdasarkan survei LinkedIn tahun 2014, sebanyak 46 persen profesional mengakui bahwa memiliki teman kerja bisa menambah kebahagiaan.

Kebahagiaan yang bertambah berimbas pada peningkatan produktivitas. Ikatan sosial menjadi sangat penting di lingkungan kerja, terlepas apakah dia berpengalaman lebih dari 10 tahun atau fresh graduated.

Gallup tahun 2018 juga menemukan bahwa orang yang memiliki teman baik di kantor akan tujuh kali lebih semangat dalam bekerja.

Namun demikian, meski belum tiba pada era sekarang, komunikasi antarkaryawan dan karyawan dan manajer juga kurang berkualitas.

Riset dari Quantum Workplace tahun 2017 mengungkapkan bahwa hanya 50,3 persen karyawan yang memiliki percakapan yang berkualitas dengan sesama karyawannya dan 51,9 persen karyawan dengan manajernya.

Selain itu, menurut survei yang sama, hampir setengah dari karyawan tidak mengutarakan apa yang mereka pikirkan, baik itu ke sesama karyawan (47,3 persen), maupun ke manajernya (51,9 persen).

Data di atas menunjukkan bagaimana komunikasi yang berjalan antara karyawan dan manajer cukup mengkhawatirkan dan bisa berdampak buruk.

Studi dari The Economist Intelligence Unit tahun 2018 menjelaskan secara gamblang dampak buruk dari komunikasi yang buruk: gagal dalam menyelesaikan proyek (44 persen), moral karyawan yang rendah (31 persen), melewatkan sasaran kinerja (25 persen), dan hilangnya penjualan (18 persen).

Dari data ini saja sudah tergambar bagaimana buruknya komunikasi memengaruhi kinerja.

Apa yang pemimpin bisa lakukan

Dalam model kerja hybrid, kita mungkin tidak akan bertemu teman antardivisi bahkan yang satu divisi karena perbedaan jadwal untuk pergi ke kantor atau mereka lebih memilih remote working.

Tetap bertemu, namun intensitasnya akan jauh lebih berkurang. Dinamika ini yang membutuhkan komunikasi yang holistik.

Survei dari Quantum Workforce pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa 81 persen karyawan mengatakan, miskomunikasi sering terjadi di tempat kerja.

Oleh karena itu, tantangan saat ini membutuhkan pemimpin untuk bisa mengubah hybrid work menjadi sesuatu yang bisa dinikmati oleh semua karyawan.

Pemimpin perlu merumuskan cara agar komunikasi bukan lagi masalah. Namun sebuah tantangan yang dapat diselesaikan dengan seni komunikasi handal dari pemimpinnya.

Pemimpin sebagai ujung tombak perlu membangun sistem komunikasi kepemimpinan yang efektif.

Sistem komunikasi yang mampu membuat karyawannya semangat dalam bekerja dan merasa memiliki sense of belonging di kantor, serta membuat mereka merasa dihargai dan diperhatikan.

Menciptakan budaya di mana karyawan dan manajer bisa mengutarakan apa yang mereka pikirkan tanpa merasa takut.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemimpin. Pertama, pemimpin perlu menerapkan komunikasi kepemimpinan yang empati.

Sudah banyak pakar maupun lembaga survei yang mengatakan pentingnya memiliki empati. Dan empati bisa mulai diterapkan dalam sistem komunikasi antara karyawan dan pemimpin.

Ada banyak keuntungan ketika menerapkan pola komunikasi yang empati berdasarkan riset dari Ernst & Young 2021: meningkatkan efisiensi (87 persen), meningkatkan kreativitas (87 persen), inovasi (86 persen), dan meningkatkan pendapatan perusahaan (81 persen).

Banyak cara menerapkan komunikasi empati kepada karyawannya, tergantung dari preferensi pemimpin itu sendiri.

Tetapi, beberapa inisiatif ini bisa membantu pemimpin untuk lebih terkoneksi menurut riset dari Ernst & Young 2021: punya jadwal pertemuan tatap muka yang teratur (45 persen), memberikan ruang untuk umpan balik anonim (42 persen), berpartisipasi dalam capacity building (37 persen), memberikan pengingat bahwa karyawan ada di ruang yang aman untuk berdiskusi (36 persen), dan mengikuti pelatihan atau lokakarya (36 persen).

Pemimpin perlu mempertimbangkan juga karakteristik pesan yang akan disampaikan, mengingat komunikasi akan lebih intens di jalur daring.

Ada argumen yang menarik dari Sanders, et.al (2020). Dari sudut pandang teori atribusi untuk komunikasi krisis, para karyawan akan lebih paham pesan yang disampaikan dari manajemen jika pesannya jelas dan menonjol, konsisten, dan konsensual.

Misalnya, apabila seorang manajer mengirimkan email rutin ke karyawan untuk tetap menjaga kesehatan dan bunyi serta isi pesannya sama ke semua jajaran, maka karyawan dapat memahami bahwa perusahaan tempat mereka bekerja memperhatikan kesehatan mental karyawannya.

Pemimpin bisa menerapkan prinsip seperti yang diutarakan di atas supaya menunjukkan bahwa pemimpin peduli dan empati terhadap karyawannya.

Jadi catatan penting bahwa pemimpin juga perlu menyesuaikan kanal komunikasi mereka sesuai dengan apa yang digunakan karyawannya.

Tahun 2015 lalu, Gallup menemukan ada 74 persen karyawan yang tidak mendapatkan informasi. Oleh karena itu, butuh penyesuaian platform dan cara.

Slicktext, perusahaan text marketing menggelar riset tentang kanal komunikasi yang diinginkan karyawannya tahun 2019.

Mereka menemukan dua hal penting. Pertama, 47,7 persen karyawan akan lebih bahagia jika menerima lebih sedikit e-mail.

Kedua, 60,8 persen karyawan mengabaikan e-mail di tempat kerja. Artinya, komunikasi via e-mail jadi sesuatu yang perlu dihindari.

Karyawan lebih ingin mendapatkan informasi melalui pesan singkat. Bisa juga melalui WhatsApp, baik itu melalui grup ataupun personal chat.

Lalu, bagaimana seorang pemimpin berkomunikasi dengan karyawan yang kelelahan dan bahkan mengalami penurunan kesehatan mental?

Ini menjadi sebuah tantangan yang cukup sulit karena faktor penyebab kesehatan mental karyawan berbeda satu sama lain.

Tetapi, ini bisa diatasi dengan berkomunikasi dengan jelas apa ekspektasi kita terhadap karyawan kita.

Dan itu perlu pemimpin komunikasikan dengan baik. Riset dari Qualtrics and SAP 2020 menemukan bahwa 23 persen kesehatan mental masyarakat akan menurun jika manajernya tidak berkomunikasi dengan baik.

Oleh karena itu, penulis memiliki satu cara tambahan, yaitu menyisihkan satu hari dalam seminggu untuk bertemu, tetapi tidak membicarakan pekerjaan, apakah itu online atau offline.

Pertemuan ini lebih ke refleksi bagaimana dinamika di kantor selama satu minggu ini dan jika memungkinkan, karyawan dan manajer wajib untuk membuka kamera.

Ruang ini setidaknya bisa menambah intensitas mereka bertemu dalam satu forum yang sama untuk menguatkan ikatan sosial mereka, sehingga timbul rasa nyaman.

Setidaknya, cara ini bisa sedikit membuat mental karyawan sedikit lebih baik karena bisa mencurahkan perasaan mereka.

Safe space di sini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Menurut Neill & Bowen (2021), organisasi menggunakan metode survei, video conference, dan aplikasi mobile untuk mendengar keluhan karyawannya.

Cara ini juga bisa diaplikasikan oleh para pemimpin untuk mengetahui kondisi karyawannya, sehingga bisa mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi dan dinamika yang ada.

Singkatnya, komunikasi kepemimpinan yang efektif adalah komunikasi yang mengedepankan empati. Karena pemimpin berkomunikasi dengan manusia, mereka ingin dimengerti dengan baik.

Memang, sebagai karyawan, sudah menjadi kewajiban untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

Akan tetapi, pemimpin juga perlu sadar bahwa karyawan menghabiskan sebagian besar waktunya melakukan pekerjaan kantor.

Oleh karena itu, sebagai pemimpin di tempat kerja, menyediakan ruang kerja yang dinamis, kolaboratif, inovatif, dan empati menjadi sebuah kewajiban mutlak.

Selain itu, pemimpin dan karyawan saling membutuhkan satu sama lain. Tidak ada leadership tanpa followership yang baik. Begitu pula sebaliknya.

Sehingga, momen perubahan seperti ini bisa kita jadikan sebagai momen untuk menyesuaikan cara komunikasi kita kepada karyawan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

[POPULER TREN] Kronologi dan Motif Suami Mutilasi Istri di Ciamis | Peluang Indonesia vs Guinea

[POPULER TREN] Kronologi dan Motif Suami Mutilasi Istri di Ciamis | Peluang Indonesia vs Guinea

Tren
5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

Tren
Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Tren
Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Tren
Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Tren
Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Tren
Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com