KOMPAS.com - Invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari lalu menimbulkan dampak beragam yang dirasakan secara global.
Salah satunya adalah meningkatnya harga sejumlah komoditas di tingkat global.
Kenaikan harga tersebut, mau tidak mau juga berimbas pada kenaikan harga di pasaran negara-negara di dunia, termasuk Indonesia terutama pada komoditas-komoditas barang impor.
Di tengah situasi pandemi yang juga memberatkan sektor ekonomi banyak kalangan masyarakat, apa yang harus dilakukan untuk menyikapi potensi kenaikan harga beragam komoditas ini?
Peneliti Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menyebut, kondisi ini memang tidak mudah.
Baca juga: Sejarah Konflik Rusia Vs Ukraina
Namun, ia mengajak masyarakat selaku konsumen untuk melakukan hal-hal berikut ini:
Hal pertama yang menurt Agus penting untuk dilakukan para konsumen di tengah situasi ini adalah memilah antara kebutuhan dan keinginan.
"Mendahulukan kebutuhan daripada keinginan, ini yang utama. Selama ini apakah benar konsumsi barang-barang impor tersebut merupakan kebutuhan atau itu sebuah keinginan," ujar Agus kepada Kompas.com, Jumat (4/3/2022).
Apabila komoditas impor naik, dan barang tersebut tidak menjadi kebutuhan pokok, pihaknya mengimbau untuk tidak membeli atau menundanya saja.
Hal tersebut, imbuhnya akan sedikit banyak menyelamatkan keuangan masyarakat.
"Jadi antara kebutuhan dan keinginan ini harus didahulukan kebutuhan," katanya lagi.
Baca juga: Daftar Sanksi yang Dijatuhkan kepada Rusia atas Invasi Ukraina, Apa Saja?
Tips kedua yang bisa diterapkan adalah mencari subtitusi atau pengganti dari komodutas yang tengah mengalami kenaikan harga.
Misalnya, ketika perang memengaruhi harga komoditas gandum global.
Indonesia adalah negara konsumen gandung yang terbilang besar, namun tidak memiliki lahan gandum di dalam negeri. Jadi negara ini mengandalkan impor.
"Apakah kebutuhan karbohidrat itu hanya akan dipenuhi oleh gandum atau bisa juga disubstitusi dengan komoditas (sumber) karbohidrat yang lain," kata Agus.
"Misalkan mengolah mi, kemudian mengolah roti-rotian, itu kan juga sudah ada kelompok yang mengganti bahan pokok gandum menjadi bahan pokok yang dari lokal, tepung dari singkong dan ketela, seperti itu. Itu bisa dikembangkan, sehingga ketergantungan gandum yang notabene dari impor itu bisa diatasi," sambungnya.
Baca juga: Mengapa Respons Dunia terhadap Konflik Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel Berbeda?
Terakhir yang juga tidak kalah penting, Agus juga mengimbau masyarakat agar tidak melakukan panic buying.
Panic buying disebut menjadi ciri konsumen yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang konsumen.
"Sebetulnya kan sebagai konsumen kita tidak hanya punya hak dan kewajiban, tapi juga tanggung jawab. Tanggung jawab salah satunya bagaimana kita peduli terhadap kelompok (konsumen) lain," ungkap dia.
Baca juga: Minyak Goreng Murah tapi Masih Langka? Ini Kata Pengamat Ekonomi
Tindakan panic buying menjadi tindakan yang tidak dibenarkan.
Ini dianggap sebagai langkah yang mengedepankan ego.
"YLKI berharap masyarakat tidak perlu melakukan panic buying, berlaku seperti biasa, membeli sesuai kebutuhan, bukan keinginan, dan menghindari panic buying," pungkas dia.
Baca juga: Minyak Goreng Masih Langka dan Mahal, Apa Penyebabnya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.