Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Ganjar Si Angsa Hitam 2024?

Kompas.com - 25/01/2022, 13:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bahkan sebagian menyerangnya, padahal Ganjar tidak pernah promo gila-gilaan layaknya calon kompetitornya.

Saya kira, inilah yang disebut keberuntungan politik, yang telah membawa Jokowi menjadi presiden Indonesia dan Ganjar menjadi disukai banyak orang hari ini.

Selain modal keberuntungan politik, ada dorongan ketidakberuntungan politik yang menguatkannya, yakni ketidakberuntungan lawan politik. Itulah yang dialami oleh Prabowo Subianto.

Masa lalu Prabowo yang susah lepas dari Orde Baru, membuat semangat "asal jangan Prabowo" berkembang biak cukup masif di pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019 yang menjadi bensin penolong naiknya elektabilitas Jokowi.

Dan ketidakberuntungan tersebut boleh jadi akan dialami oleh lawan-lawan Ganjar nantinya tanpa mereka sadari.

Sikap politik Ganjar yang memilih "lebih banyak diam" dan bersikap semoderat mungkin ketimbang berisik dan grasa-grusu, yang rentan salah jalan dan terjatuh.

Bahkan diamnya Ganjar boleh jadi bermakna "terzalimi," layaknya SBY tahun 2004.

Apalagi kalau kita tarik ke belakang. Bagaimana jadinya konstelasi pemilihan presiden tahun 2014 jika Anas Urbaningrum tidak tersangkut kasus Wisma Atlet.

Di eranya, Anas adalah politisi muda dengan kemampuan organisasi yang tak perlu diragukan lagi.

Dengan jurus diam, Anas menyingkirkan Andi Malaranggeng dalam pertarungan ketua umum Partai Demokrat.

Padahal Andi sudah jor-joran pasang baliho besar-besar se-Jakarta kala itu, plus teknik-teknik kehumasan yang pernah digunakan untuk memenangkan SBY.

Sementara Anas bermain di luar radar publik. Ketimbang menyempit-nyempitkan ruang publik dengan iklan, Anas memilih cara konvensional ala aktifis lapangan.

Kontak dan lobby-lobby langsung membawa Anas terpilih dengan suara mutlak terbanyak di pertarungan ketua umum Partai Demokrat kala itu.

Dan dengan raihan suara Partai Demokrat pada pemilihan terakhir (2009) yang mayoritas, Anas, tak bisa tidak, secara persepsional adalah calon penerus SBY, sebelum anak kandung SBY mapan secara politik.

Alias Anas akan meneruskan kepemimpinan SBY, sementara waktu sekaligus menjadi mentor bagi anak SBY yang akan secara genealogis politik menggantikannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com