SELAMA manusia menarik dan menghembuskan nafas maka egoisme dan egosentrisme merupakan kewajaran. Namun kewajaran yang berlebihan rawan menjadi tidak wajar sehingga egosentrisme rawan menjadi narsisme.
Satu di antara pengejawantahan narsisme adalah perilaku yang disebut sebagai selfie.
Baca juga: Erupsi Gunung Semeru, Mengapa Banyak Warga Selfie di Lokasi Bencana?
Saya merasa beruntung bahwa secara ragawi bentuk saya sama sekali tidak indah sehingga saya malu jika difoto apalagi setelah ponsel dilengkapi kamera untuk memfoto diri sendiri secara mandiri.
Akibat malu buruk-rupa maka saya tidak menghanyutkan diri ke dalam arus gelombang budaya selfie kecuali apabila dipaksa orang lain.
Nahas tak bisa ditolak jika saya menolak ikut difoto selfie oleh orang lain maka saya terpaksa siap menghadapi resiko dianggap sombong. Maka agar tidak dituduh sombong terpaksa saya tidak berani menolak apabila diajak foto selfie bahkan memaksakan diri untuk tersenyum demi agak menutupi keburukan wajah buruk saya.
Namun akhir-akhir ini muncul fenomena selfie gaya baru yang saya benar-benar enggan mau ikutan yaitu selfie dengan latar belalang lokasi bencana erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur.
Berduyun-duyun masyarakat penggemar selfie sengaja datang ke lokasi bencana ledakan Gunung Semeru yang telah menewaskan puluhan warga sekedar demi memuaskan hawa nafsu narsisme bisa mejeng, bergaya di lokasi yang sebenarnya kurang pantas untuk bergaya-gaya.
Memang tidak ada undang-undang eksplisit melarang manusia berselfie di lokasi bencana alam. Juga tidak ada undang-undang melarang manusia selfie di upacara duka seperti misalnya upacara tutup peti atau pemakaman, di lokasi kecelakaan lalu lintas yang tidak melibatkan pelaku selfie, pada saat ada orang lain sedang berantem atau peristiwa lain yang toksik alias tidak layak untuk diselfiekan.
Namun harap disadari bahwa di samping hukum formal sebenarnya ada hukum informal, hukum tidak tertulis, etika sosial yang disepakati lingkungan sosial, tata-krama atau aturan kepantasan.
Kearifan leluhur Jawa memagari perilaku manusia dengan pasemon ngono yo ngono ning ojo ngono alias begitu ya begitu tetapi ya jangan begitu. Menurut pendapat saya, ngono yo ngono ning ojo ngono merupakan pamungkas kendali akhlak sakti mandraguna agar manusia tidak melakukan sesuatu yang kurang pantas berdasar norma sosial.
Baca juga: BNPB: Selfie di Lokasi Bencana Erupsi Semeru Ganggu Kerja Petugas
Maka sebagai pedoman jihad al nafs demi menaklukkan hawa nafsu selfie diri sendiri ngono yo ngono ning ojo ngono dapat sedikit dimodifikasi menjadi selfie yo selfie ning ojo sembarangan selfie.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.