Pada saat yang sama dan di ujung lain Boulevard Voltaire, serangan paling mematikan malam itu dilakukan di Bataclan, sebuah gedung teater dan konser bersejarah.
Malam itu, band rock Eagles of Death Metal asal Amerika Serikat sedang bermain di depan 1.500 penonton ketika tiga teroris menyerbu masuk dan menembaki penonton.
Beberapa penonton konser berhasil melarikan diri melalui pintu samping, dan puluhan lainnya berlindung di atap gedung, sementara yang lain bersembunyi atau berpura-pura mati untuk menghindari perhatian orang-orang bersenjata.
Orang-orang bersenjata itu menduduki Bataclan selama lebih dari dua jam, menyandera dan membunuh tanpa pandang bulu, sebelum pasukan keamanan Perancis menyerbu gedung itu pada pukul 00.20 waktu setempat.
Dua dari teroris itu meledakkan sabuk bunuh diri mereka, dan sabuk teroris ketiga meledak secara spontan ketika terkena peluru polisi.
Puluhan orang terluka parah dalam serangan itu, dan sedikitnya 89 orang tewas.
Baca juga: Otak Teror Paris Lolos dari Sergapan Polisi Yunani
Pada 14 November 2015, ISIL/ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan berdarah di Paris, dengan mengatakan bahwa itu merupakan "badai pertama."
Presiden Hollande menanggapi dengan menyebut serangan itu sebagai "tindakan perang" dan menyatakan tiga hari berkabung nasional.
Melansir BBC, 27 April 2016, setelah serangkaian penyelidikan, otoritas Perancis akhirnya berhasil mengungkap pelaku teror Paris yang terjadi pada 13 November 2015.
Serangan tersebut diduga didalangi oleh Abdelhamid Abaaoud, seorang warga negara Belgia yang tewas dalam penggerebekan polisi di Saint-Denis, Paris utara, beberapa hari setelah teror mematikan di Paris terjadi.
Tokoh kunci lainnya, Salah Abdeslam, ditangkap pada 18 Maret 2016 setelah buron.
Mohamed Abrini, tersangka lain yang diyakini memiliki hubungan dengan serangan Paris, ditangkap di Brussel, Belgia pada 8 April 2016.