Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Leaducation, Implementasi dan Tantangan ke Depan

Kompas.com - 11/09/2021, 06:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

BERBAGAI tantangan, baik di lingkup organisasi, pemerintah, dan perusahaan, membuat peran pemimpin menjadi semakin vital.

Karena itu, pemimpin perlu mendidik dan memberdayakan anggotanya agar tantangan dapat dilalui.

Leaducation menjadi konsep kepemimpinan yang bisa digunakan untuk menjawab tantangan tersebut.

Pendekatan pendidikan diperlukan untuk menciptakan bibit unggul. Seorang leaducator punya peran untuk mengembangkan anggotanya.

Baca juga: Perkenalkan, “Leaducation”, Konsep Kepemimpinan Jitu Masa Kini

Implementasi leaducation ini tentu tidak lepas dari tantangan karena banyak aspek yang harus diperhatikan.

Oleh karena itu, tidak semua orang mampu menjadi leaducator karena mereka harus punya kepercayaan, keberanian, kecerdasan, disiplin, dan kemanusiaan.

Ada banyak fenomena yang membuat leaders belum mampu menyebut dirinya sebagai seorang leaducator terutama dari segi bagaimana mereka memperlakukan anggotanya.

The meaning of work

Kita akan mulai pembahasan ini dari anggota karena aspek terpenting dari segala sektor adalah sumber daya manusia.

Tahun ini ada sebuah fenomena yang disebut The Great Resignation, banyak anggota yang keluar dari pekerjaannya.

Dan memang, ini sudah terbukti. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, pada April, Mei, dan Juni, 11,5 juta pekerja dilaporkan keluar dari pekerjaan mereka.

Angka ini terbilang besar dan menunjukkan sesuatu kontradiktif. Di masa pandemi, saat pekerjaan sulit didapat, banyak orang malah keluar dari pekerjaan mereka. 

Gallup mengeluarkan sebuah riset yang berjudul State of the Workplace: 2021 Report yang menjawab fenomena di atas.

Berdasarkan survei mereka, 20-34 persen anggota yang bekerja di AS dan Kanada tidak merasa engage dengan pekerjaan yang mereka lakoni.

Artinya, anggota tidak terlalu puas dengan pekerjaan mereka. Anggota yang tidak bersemangat tentu merugikan.

Gallup bahkan mencatat, bila perusahaan yang memiliki 10.000 anggota dengan gaji per tahun 50 ribu dolar AS, disengagement berharga sebesar 60,3 juta dolar AS per tahun.

Jika melihat dari sudut pandang perusahaan, jumlah ini tentu sangat merugikan di tengah goncangan bisnis akibat pandemi.

Namun, dari sudut pandang lain, ini bisa terjadi karena tidak ada pola hubungan yang harmonis antara pemimpin dan anggota. Seorang leaducator mampu membangun hubungan yang baik tanpa merasa ada sekat hierarki yang membatasinya.

The great resignation terjadi karena kegagalan pemimpin, khususnya manajer dalam membina dan memberdayakan anggotanya. Sehingga, anggota merasa tidak engage dengan pekerjaannya dan membuat makna pekerjaan itu hilang.

Setiap orang membutuhkan makna dalam hidupnya dan tentu saja pemimpin harus memahami itu. Tanpa makna, individu tidak akan mendapatkan energi positif dari pekerjaan dan malah menghimpun energi negatif.

Kita tidak bisa menyalahkan ini pada perusahaan karena mereka harus bertahan atau terjadi pemutusan hubungan kerja massal. Sehingga, tuntutan untuk bekerja semakin tinggi agar objektifnya bisa dicapai.

Akan tetapi, pemimpin di semua hierarki tentu perlu mempertimbangkan bahwa anggota adalah elemen penting dalam organisasi mereka. Seorang leaducator perlu mempertimbangkan aspek kemanusiaan juga, seperti bagaimana kesehatan mental mereka, kondisi pribadinya, dan lain sebagainya. Sehingga, anggota pun merasa diperhatikan oleh pemimpinnya

Akses belajar terbatas

Salah satu hal lain yang membuat implementasi konsep leaducation ini kurang mengena adalah karena tidak ada kesempatan bagi anggota untuk belajar.

Salah satu penyebab mengapa tidak ada kesempatan bagi anggota buat mengembangkan diri adalah tidak memadainya alat yang tepat.

Survei dari Inkling tahun 2020, perusahaan yang berbasis di San Francisco, menyebutkan, hanya ada 28 persen perusahaan yang siap menjawab kebutuhan pengembangan diri anggotanya.

Riset lain dari kolaborasi antara CIPD dan Accenture 2021 mengatakan, anggaran finansial untuk learning and development berkurang sebesar 31 persen dalam dua belas bulan terakhir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com