Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penghapusan Mural oleh Aparat, Bagaimana Negara Menyikapi Kritik di Ruang Publik?

Kompas.com - 18/08/2021, 07:30 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Rendika Ferri Kurniawan

Tim Redaksi

"Di dalam new social movement itu, artikulasi-artikulasi kepentingan-kepentingan politik atau juga pandangan-pandangan politik terhadap negara dan sebagainya, itu bisa dimuarakan melalui seni," kata Drajat, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (14/8/2021).

Menurut Drajat, karya seni yang tergolong sebagai new social movement dapat ditemukan pada lagu, gambar, puisi, dan lain sebagainya.

Ia mengatakan, new social movement ini berbeda dengan gerakan-gerakan kolektif masyarakat yang bersifat "mendobrak" seperti demonstrasi, tetapi lebih cenderung menekankan pada perubahan-perubahan pengetahuan dan pola pikir masyarakat.

"Sehingga ini (karya seni) menjadi semacam alternatif lah, untuk menyampaikan berbagai pesan. Di situ ada pesan yang ingin disampaikan pada kelompok tertentu," kata Drajat.

Menanggapi fenomena maraknya mural bernada kritis yang bermunculan di berbagai daerah, Drajat mengatakan, karya-karya tersebut tidak akan muncul apabila tidak ada masalah.

"Karena ada masalah, dan masalah itu tak terselesaikan dalam waktu cukup lama, misalnya PPKM dan sebagainya, maka kemudian masyarakat itu perlu saluran komunikasi," ujar Drajat.

"Nah, saluran komunikasinya itu berbeda-beda. Kalau seniman ya lewat karya seni," imbuh dia.

Drajat mengatakan, penyikapan pihak berwenang yang jauh dari kesan membuka ruang dialog, tetapi justru terkesan represif dengan langsung menghapus mural-mural bernada kritis dan memburu seniman pembuatnya adalah hal yang tidak tepat.

"Karena, melalui mural itu pemerintah mendapatkan informasi tentang ekspresi perasaan dari masyarakat, karena itu mewakili masyarakat. Kalau itu kemudian direpresi, itu akan kelihatan sekali bagaimana negara ini secara pelan-pelan menjadi kekuatan yang dominatif, kekuatan yang represif, yang bahkan seni aja ditakuti," jelas Drajat.

"Kalau kemudian itu ditutup begitu saja, misalnya dihapus atau orangnya (seniman) 'dipegang' itu bukannya malah kemudian berhenti ya. Ini malah menjadi ide, menjadi gagasan untuk mural baru, lagu baru. Seperti lagu-lagu Iwan Fals dulu waktu zaman Orde Baru. Semakin ditekan ya semakin keluar," katanya lagi.

"Pemerintah itu kalau sudah terlalu panik biasanya dibredel. Mulai dari gerakan sampai seni pun juga. (Pemerintah) harus hati-hati, kalau enggak malah memukul pemerintah sendiri," imbuh dia.

Baca juga: Ramai soal Mural-mural Dihapus, Begini Sejarah Mural

Kritik di ruang publik itu sah

Terpisah, Dosen Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS Figur Rahman Fuad mengatakan, ekspresi-ekspresi seni di ruang publik, termasuk mural-mural bernada kritis yang akhirnya dihapus itu, adalah hak setiap orang.

"Itu kan sebetulnya orang ingin berpendapat. Gampangnya begitu, dan caranya itu macam-macam. Ada teman-teman, anak-anak muda terutama, yang media ekspresinya di ruang publik dengan kemampuan mereka di bidang seni rupa, membuat mural, dan sebagainya itu, menurut saya ya boleh-boleh saja," kata Figur, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (14/8/2021).

Figur mengatakan, permasalahan mural maupun bentuk ekspresi seni lainnya di ruang publik, semestinya tidak hanya dipandang dari aspek legalitas, seperti izin, tetapi sebagai ekspresi masyarakat yang seharusnya direspons dengan dialog.

Ia mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan penutupan mural yang dilakukan oleh pihak berwenang. Karena menurutnya, itu adalah hal yang biasa dialami oleh seniman mural.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com