Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Merdeka dari "Toxic Mindset"

Kompas.com - 17/08/2021, 15:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

17 Agustus adalah hari paling bersejarah karena pada hari itu bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari penjajah.

Momen pembacaan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No 56 sangat bersejarah bagi kita yang telah hidup di dalam kendali orang lain dan tidak bebas untuk melakukan sesuatu.

Momen saat pengibaran bendera merah putih menjadi sangat bernilai bagi kita yang ingin mengelola negara dengan tangan sendiri.

Singkatnya, tanggal itu menjadi tonggak sejarah Republik ini.

Menginjak usia yang ke-76, banyak hal yang telah dicapai Indonesia, namun masih juga terdapat beberapa kekurangan. Wajar, kita masih berbenah, mencari formula pembangunan yang tepat.

Tetapi, saya tidak mau membahas itu. Justru yang ingin saya refleksikan adalah soal diri sendiri.

Apakah diri kita sudah merdeka sepenuhnya? Merdeka dari segala prasangka buruk yang membuat diri kita maupun orang lain terkena dampaknya?

Studi terbaru mengungkapkan, manusia memiliki 6.200 pikiran per hari. Dari 6.200 pikiran itu, apakah kita sudah menavigasikannya menuju hal yang positif atau masih terjebak di dalam lingkaran setan?

Prasangka buruk adalah musuh utama keberhasilan dan antagonis terhebat dalam kolaborasi. Keberadaan prasangka buruk menghambat kemajuan di dalam diri kita dan membuat kita gagal melihat kelebihan orang lain.

Kita hanya fokus dalam satu bintik hitam yang ada di dalam diri kita. Padahal, bintik hitam itu kecil bentuknya, tak memiliki pengaruh yang besar dalam hidup kita. Tetapi, kita justru fokus ke titik itu.

Karena itu, kita sering kali mengkritik orang lain dan melihat keburukan orang lain. Meski teman kita sukses nantinya, kita mungkin akan berkata, “Wah, dia kaya sih jadinya bisa sukses, nggak ada beban pikiran keluarga," atau "the power of orang dalam ini mah, wajar kalau dia bisa meraih hal besar," atau seperti ini "dia punya privilege banyak, enggak kayak kita orang biasa."

Semua prasangka itu sah-sah saja sebenarnya, tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah sudahkah kita berusaha?

Sejauh mana usaha kita untuk meraih sesuatu? Apakah kita hanya berprasangka buruk sama orang yang telah sukses dan dalam puncak karirnya namun tak berusaha sedikit pun?

Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Bernard Shaw. Dia mengatakan, “Only two percent of the people think; three percent of the people think they think; and ninety five percent of the people would rather die than think.”

Kalau begitu, bisa jadi, hanya 2 persen yang bisa meraih kesuksesan. Sedangkan, 98 persen lainnya sibuk menjadi toxic people.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com