Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Menjadi Manusia Indonesia yang Merdeka

Kompas.com - 17/08/2021, 15:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bagaimana bisa merasakan, ya karena sering dihipnotis dengan ancaman "jangan cinta dunia.” Sementara yang menganjurkan, rumahnya kayak istana. Orang semacam ini, tersebar di mana-mana.

Orang beragama harus miskin, supaya bisa jadi sapi perah mesin liberalisme. Maka mudah bagi kita untuk mengerti, kenapa bangsa asing di Indonesia, bisa menjadi golongan orang terkaya, dan sebaliknya, warga pribumi selamanya menjadi kacung di negeri sendiri.

Karena terbiasa bersembunyi di balik narasi agama dan petuah para mesiah, menjadi maklum bila kita tak lagi bisa menemukan orang-orang yang bertanggung jawab pada ucapan dan tindakannya sendiri.

Siapa pula pada zaman kiwari ini yang mau memiliki jiwa kesatria? Toh para pengampu kebijakan di negeri kita tak membutuhkan itu. Cukup dengan setumpuk uang dan afiliasi partai pemenang pemilu, maka ia bisa duduk manis memerintahkan orangorang mengikuti apa yang dikehendakinya.

Astagatra

Kemerdekaan yang adalah hak segala bangsa, yang sama dengan milik semua manusia—dan telah digemakan oleh preambule Undang–Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 76 tahun silam, ternyata hanya isapan jempol belaka. Jangankan di level internasional, di dalam negeri sendiri pun harapan tersebut tak terwujud setelah sekian lama.

Dalam kaidah ketahanan nasional, kita punya Astagatra, yang merupakan delapan aspek kehidupan berbangsa-bernegara. Terdiri atas Trigatra yang mencakup tiga aspek alamiah bersifat statis, dan Pancagatra mencakup lima aspek sosial kemasyarakatan yang bersifat dinamis.

Trigatra berisi aspek geografi, demografi (kependudukan), dan sumber kekayaan alam yang merupakan potensi dan modal bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan.

Sementara Pancagatra mengandung aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan pertahanan.
Kita punya lautan-daratan yang strategis. Negeri perairan yang dikelilingi “cincin gunung berapi”.

Sebuah perpaduan sempurna tiada tara, yang kemudian menghasilkan sumber daya alam melimpah, serta penduduk dengan keanekaragaman tak ternilai.

Lahirlah 1.331 suku-bangsa dengan 652 ratusan bahasa (BPS, 2010), lengkap dengan 12 aksaranya: Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis (Lontara), Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci (Rencong atau Incung).

Ada pun aspek ekonomi dan pertahanan, sangat bergantung pada ranah politik yang saat ini masih centang prenang. Demokrasi model Amerika nampaknya sudah tak lagi memadai diterapkan di sini. Kenapa?

Karena Indonesia menganut sistem multipartai. Itu pun berujung pada voting yang bergantung suara terbanyak. Inilah letak kekacauaan demokrasi kita.

Padahal bila merujuk pada sistem demokrasi Pancasila, sudah jelas bahwa petunjuknya ada dalam sila keempat Pancasila. Proses regenerasi pemimpin yang kerap kali mengecewakan, bermuara dari manajemen partai yang buruk dalam mengelola kadernya.

Jika itu semua dikelola dengan baik dan benar, sudah cukup bagi Indonesia untuk disebut sebagai negara digdaya.

Ada banyak nilai dari masa lalu yang masih terjaga dengan baik, yang bisa dijadikan metode berkehidupan dalam konteks bernegara. Amatilah bagaimana Keratuan Galuh berdiri tegak dengan pertanian, Srivijaya yang adidaya dengan emas, dan kejayaan Singhasari-Majapahit dengan pengelolaan laut. Semua itu merupakan contoh kemandirian mengurusi diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain.

Jikalau pikiran dan keyakinan kita saja masih terjajah, apakah yang hendak kita karyakan dalam hidup ini—dan kelak kita wariskan pada generasi mendatang?

Mari menginsyafi pengkhianatan kita pada Pancasila selama puluhan tahun. Keragaman cara bertuhan orang Indonesia, adalah harta karun tak ternilai. Sudah sejak lama kita terbiasa memanusiakan manusia secara beradab.

Di bawah panji kerajaan apa pun, kita tetap bersatu teguh. Dalam suasana bersitegang sekali pun, kita lebih mengedepankan kebijaksanaan musyawarah demi mencari hikmah. Karena itulah, keadilan bukan lagi sesuatu yang utopis bagi kita sejak dulu kala.

Sudah tepat jika Bung Karno mewariskan kita pusaka Trisakti: berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan, lalu Bung Hatta menggelorakan kedaulatan rakyat, keadilan dan kemakmuran, serta kebersamaan dalam kekeluargaan. Sekarang, jalan mana yang hendak kita tempuh?

Dirgahayu, Indonesiaku tercinta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com