Inilah alasan, mengapa Bali penuh dengan wangi dupa hampir di setiap sudutnya.
Di beberapa upacara besar, canang dipadukan dalam susunan yang amat rumit, sehingga ia tampak begitu indah dan agung.
Namun, di mayoritas kesempatan, sesaji dihaturkan dalam hening. Tidak ada ribut-ribut di dalamnya.
Tidak ada hari libur nasional. Tidak ada kehebohan yang mengundang keramaian, terutama di tengah pandemi Covid-19 ini.
Di saat-saat baik, persembahan dihaturkan. Rasa syukur menjadi dorongan utamanya.
Di masa krisis, seperti sekarang ini, persembahkan tetap dengan setia dan rajin dihaturkan. Yang dimohonkan adalah kekuatan untuk melampaui krisis, serta keselamatan untuk terus hidup di kemudian hari.
Dari segi hukum agama, masyarakat Bali wajib menghaturkan persembahan setiap harinya.
Di sisi yang lebih luas, Bali sendiri adalah persembahan untuk Indonesia, dan juga untuk dunia.
Pesona alamnya adalah persembahan bagi bagi jutaan seniman maupun pencari spiritual yang memperoleh inspirasi darinya, baik lokal maupun internasional.
Pesona budayanya menjadi persembahan bagi orang-orang yang mengalami kehampaan makna, atau hendak bangkit dari bencana.
Bali pun menyumbang besar untuk reputasi Indonesia di mata dunia. Sudah tak terhitung berapa kali ketika di Eropa, saya menyebut asal saya (Indonesia), dan orang langsung menyebut Bali.
Dalam beberapa kesempatan, beberapa orang tak percaya, jika Bali adalah bagian dari Indonesia. Saya kerap kali merasa serupa.
Keindahan alam dan budaya Bali tak layak untuk Indonesia yang dipimpin oleh rezim yang menindas, ditikam radikalisme agama serta korup sampai ke akarnya.
Namun, di dalam persembahan, sesungguhnya tidak ada yang dirugikan. Di dalam pengorbanan, semua pihak akan mendapatkan keuntungan.
Yang dipersembahkan memperoleh penghormatan. Yang mempersembahkan memperoleh kesempatan untuk berbuat baik.