Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza AA Wattimena
Peneliti

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Universitas Airlangga, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Universitas Presiden, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Multimedia Nusantara.

Bali yang Selalu Mempersembahkan Diri

Kompas.com - 27/07/2021, 14:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pertengahan Mei 2021, cuaca dingin pagi hari di Ubud, Bali menusuk ke tulang. Namun, tekad saya sudah bulat.

Saya akan berangkat di pagi hari, ketika sepi, untuk mengunjungi Gunung Batur di Kintamani, Bali. Matahari baru saja tampil menampakkan diri.

Pada saat yang sama, warga Bali sudah bangun, dan sibuk berkegiatan. Kebanyakan berkegiatan di sekitar Pelinggih, yakni tempat pemujaan yang ada di setiap rumah Bali, jalan raya maupun sawah.

Mereka mebanten, atau menghaturkan saji kepada Yang Mahakuasa. Persembahan dihanturkan sebagai simbol syukur sekaligus mohon perlindungan bagi kehidupan selanjutnya.

Kehidupan dilihat sebagai sebuah berkah. Manusia masih diperbolehkan oleh Yang Kuasa untuk menjalani satu hari lagi di bumi pertiwi ini.

Kehidupan juga dilihat sebagai kesempatan untuk mempersembahkan diri dalam bentuk perbuatan-perbuatan baik. Jika ajal tiba, orang bisa lahir di keadaan yang lebih baik pada kehidupan berikutnya.

Menghaturkan persembahan bisa dilakukan kapan pun sepanjang hari. Ini tentunya terngantung pada kesibukan masing-masing orang.

Salah satu persembahan yang dihanturkan disebut juga sebagai canang. Canang sendiri berarti sesuatu yang bertujuan indah. Ca berarti indah, dan Nang berarti tujuan (Arina, 2019)

Dari segi bentuk, canang keseharian sangatlah mungil. Kita bisa melihatnya di berbagai sudut Pulau Bali, atau rumah orang Bali di seluruh penjuru dunia.

Umat Hindu sedang melakukan upacara keagamaan di salah satu pura di Ubud, Bali.shutterstock.com/olegd Umat Hindu sedang melakukan upacara keagamaan di salah satu pura di Ubud, Bali.
Bentuknya pun beragam, sesuai dengan tujuan dari konteksnya. Ada canang yang dihanturkan di Pura, tempat usaha, rumah, jalanan bahkan kendaraan.

Ia terbuat dari berbagai jenis bunga warna warni, dupa dan daun kelapa muda, atau janur.

Ia dihaturkan di atas ceper, atau tempat kecil. Detilnya amat tergantung pada upacara apa yang akan dilaksanakan, atau untuk tujuan apa canang tersebut dibuat.

Membuat canang tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran, keterampilan, waktu dan uang untuk membuatnya.

Walaupun rumit, ia dibuat dan dihaturkan dengan hati yang bebas dari beban. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran maupun rasa syukur pada Yang Kuasa.

Canang kemudian dipadu dengan dupa, bunga warna warni yang segar serta percikan air suci. Ia pun menjadi wangi, dan sedap dipandang mata.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com