Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

BTS-Pop Culture: Hiburan, Politik, dan Situs Pertarungan Dominasi

Kompas.com - 18/07/2021, 15:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Representasi semacam ini, menurut para pemikir feminis, sangatlah bermuatan ideologis, tidak menampilkan realitas yang kompleks, serta berpotensi melanggengkan ideologi patriarki (Dominic Srinati).

Dalam kontestasi politik, para penyanyi dari berbagai jenis genre musik mengisi hiburan untuk menarik perhatian massa dalam kampanye dan mendukung partai politik tertentu.

Beberapa contoh di atas memberikan kita pandangan bahwa pop culture tidak bisa sekadar dipahami secara sederhana sebagai hal yang remeh-temeh semata, melainkan ada kompleksitas makna yang perlu kita telusuri.

Meskipun kerap dianggap sebagai hal yang remeh-temeh, pop culture memberikan ruang kepada siapa saja untuk menawarkan kritik dan wacana alternatif.

Misalnya komedian perempuan Kiky Saputri yang dengan santainya melakukan roasting terhadap pejabat politik Indonesia seperti Sandiaga Uno, Erik Tohir, Susi Pudjiastuti, bahkan Wakil Presiden RI. Dalam lawakannya Kiky Saputri menyampaikan kritik tajam kepada pejabat negara melalui humor.

Simon Dentith mengatakan bahwa humor kerap bermuatan kritik dan politis yang disampaikan tanpa jalur kekerasan karena di balik humor tersimpan makna yang bertentangan dengan makna yang ada dalam realitas.

Kolaborasi dan agenda politik

Dalam konteks BTS, kita dapat melihat bagaimana dua kekuatan industri besar yakni McDonald (Amerika Serikat) dan BTS (Korea Selatan) berkolaborasi secara komersial untuk mempertahankan dominasi mereka di dunia.

Jika dulu, Amerika merupakan negara yang budayanya mendominasi dunia dan menjadi barometer dalam banyak aspek kehidupan, kini tidak lagi demikian. Artinya, di level peripheral Korea Selatan telah membangun kekuatan kompetitif atas Barat.

BTS dikabarkan akan melakukan kolaborasi dengan penyanyi kelahiran Inggris, Ed Sheeran, serta berhasil menguasai tangga lagu Billboard Hot 100 dan memenangkan voting yang digelar oleh UFA melalui akun Twitter resmi untuk hit singlenya Butter  yang diputar pada Opening Final Euro 2020.

Ini membuktikan bahwa Korea Selatan telah berhasil membangun kekuatan kultural baik di Asia maupun Barat, selain itu, dalam upaya mempertahankan dominasinya di dunia, Barat melakukan negosiasi melalui kolaborasi dengan kekuatan industri Asia.

Dalam hal ini, kolaborasi BTS dan McDonald menjelaskan bahwa kekuatan Barat tidak lagi menjadi satu-satunya kekuata yang bersifat eksklusif.

Upaya dan strategi Barat dalam mempertahankan dominasinya di ranah industri hiburan juga bisa dilihat dari beberapa film Hollywood yang mengikutsertakan talent atau aktor-aktor Asia, serta mengangkat tema-tema Asia dalam beberapa produksi filmnya seperti Raya and the Last Dragon, Mulan, Crazy Rich Asians.

Di luar itu, BTS juga aktif mengampanyekan isu kesehatan bersama UNICEF melalui lagu-lagunya dan tagar #loveyourself di media sosial. Kampanye tersebut bertujuan untuk memberikan dukungan kepada masyarakat dengan persoalan kesehatan mental untuk bangkit dari keterpurukan. Terbukti kampanye ini banyak mendapatkan perhatian dunia.

Dari segi konsumen, Gietty Tambunan (Kompas/12/06/2021), BTS Army tidak bisa dilihat hanya sebagai subjek yang pasif. Mereka aktif memproduksi-mereproduksi makna dengan memanfaatkan citra BTS untuk membuat konten di media sosial dan mencari keuntungan.

Gietty juga menambahkan bahwa para BTS Army juga terlibat dalam aksi penolakan mereka tentang RUU Cipta Kerja pada 2020 lalu dan berhasil mendapat perhatian publik secara global.

Di sisi lain mereka juga membangun simpati publik di media sosial untuk mengumpulkan donasi kepada driver ojek online yang telah rela mengantre panjang di masa pandemi Covid-19 demi mendapatkan BTS Meal.

Melalui BTS, kita dapat melihat bahwa dengan segala kompleksitasnya, budaya populer perlu mendapatkan perhatian serius dan tidak bisa dilihat hanya sebagai hiburan semata.

Meskipun tidak bisa dilepaskan dari konteks kapitalisme, pop culture memiliki potensi sebagai agens perubahan yang memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com