"Itu sebabnya, ketika korban tersinggung dan marah-marah, ia justru ditertawakan, dipandang negatif, yang artinya reviktimisasi sementara pelaku dibela," kata Rainy.
Padahal, korban sudah merasakan agresi, yaitu ketika tubuhnya disentuh atau dipegang semau pelaku. Dengan demikian, secara psikis korban merasa terancam.
Perbedaan besar antara tindakan pelecehan seksual dan bukan, ada pada konsensual atau kesepakatan dua belah pihak.
Merangkul, berjabat tangan, menepuk bahu, menyapa, semuanya bukan tindakan pelecehan seksual jika semua pihak merasa nyaman dan dalam konteks yang jelas.
"Konteksnya (harus) jelas, (misalnya) perjumpaan dua sahabat lama yang telah lama berpisah dan tak ada unsur paksaan atau agresi," kata Rainy.
Akan tetapi, jika sentuhan atau rangkulan membuat seseorang tidak nyaman maka ada indikasi pelecehan.
Baca juga: Catahu 2021, Laporan Perkawinan Anak dan Pelecehan Siber Meningkat
Ketika mendapati tindakan pelecehan di ruang publik, Rainy mengingatkan, agar tidak menertawakan korban.
"Karena itu berarti membuatnya dua kali menjadi korban (reviktimisasi)," ujar dia.
Jika menjadi saksi kejadian pelecehan seksual, kita bisa merekam pelakunya sebagai alat bukti.
Untuk mendukung dan membantu korban, kita bisa mengingatkan pelaku dan publik bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dapat dikenakan sanksi hukum.
"Pelecehan seksual bukan kenakalan atau perbuatan iseng melainkan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan pelanggaran hukum," kata Rainy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.