Bagi saya, Bali tak selalu istimewa di hati.
Pertama kali saya mengunjunginya pada tahun 1993. Perjalanan dilakukan bersama keluarga dan kerabat tercinta.
Yang teringat adalah adalah kumpulan pantai, hutan dan gunung yang tak bermakna. Samar-samar, teringat juga masa bermain dengan para monyet di Monkey Forest Ubud.
Perjalanan kedua terjadi pada 2006. Kali ini, teman-teman pergi menemani. Semua tetap sama, karena tak ada yang istimewa. Panasnya pantai Kuta menjadi satu-satunya yang teringat di kepala.
Perjalanan ketiga terjadi pada 2018. Inilah perjalanan yang mengubah hidup saya. Pesona Bali menjadi terasa jelas. Keagungan budaya dan alamnya menyentuh langsung ke dalam jiwa.
Ini terjadi, karena sejak 2014, saya mengalami perubahan besar di dalam diri. Filsafat dan ilmu pengetahuan Eropa yang begitu menuhankan akal budi kini sudah terlampaui.
Saya pun terbuka ada dimensi kehidupan yang lebih dalam, yakni dimensi tak bernama yang penuh cinta dan seluas semesta. Perubahan ini yang membuat saya begitu erat berpelukan dengan segala yang ada di Bali.
Di masa pandemi, tepatnya di 2021, Bali kembali memanggil.
Sudah terlalu lama ia mengetuk hati dan diabaikan oleh kesibukan. Keadaan memang tak ideal. Pandemi COVID 19, dan kegagalan pemerintah mengelolanya, menghantui tidak hanya Bali, tetapi seluruh dunia.
Namun, panggilan itu terus terasa di hati.
Pada 18 Mei 2021, saya berjalan berkeliling Gelora Bung Karno, Jakarta. Harapan saya sederhana, panggilan Bali yang berkobar bisa menjadi teduh oleh keringat di sana.
Namun, sebaliknya yang terjadi. Panggilan itu semakin menggetarkan jiwa.
Sorenya, saya menjalankan tes Covid-19. Hasilnya baik dan tangan langsung bergerak mencari tiket serta akomodasi di Bali. Tanggal 19 Mei 2021, jam 8 pagi, saya mendarat di Pulau Dewata. Ah, rasanya seperti pulang ke rumah.
Yang ditawarkan hanyalah satu, yakni harapan untuk sembuh dari luka-luka yang mengoyak jiwa.