Hal itu disampaikan tanpa menyebut alasan dan penjelasan apapun.
"Tidak ada penjelasan dari orangtua yang clear, 'kamu kalau sudah mimpi basah, artinya kamu sudah bisa membuahi anak perempuan, menghamili', atau kalau anak perempuan (sudah pubertas) 'kamu sudah bisa dihamili' kan kata-katanya seperti itu ya, langsung jumping to conclusion," tutur Baby.
Yang ada, orangtua hanya menyampaikan peringatan jika anak sudah besar dilarang pulang larut malam, berbuat yang macam-macam. Namun sekali lagi, tanpa penjelasan.
Oleh karenanya, anak belajar tentang seksualitas, bahasa Baby, sambil terpentok-pentok.
Ada sebagian yang beruntung mendapat informasi yang tepat, namun sebagian yang lain terseok dan akhirnya merujuk pada referensi yang salah.
"Ada yang bisa mencari penjelasan yang benar, misalnya membaca buku yang benar, dapat dari jurnal, atau bertanya kepada ahli. Tapi ada juga yang kepentok-pentok dan merujuk referensi yang salah," sebut Baby.
Menurutnya, mengajarkan pendidikan seksual kepada anak bukan lagi sesuatu yang tabu, selama dilakukan secara tepat berdasarkan usianya.
Pendidikan seksual adalah sesuatu yang penting untuk diajarkan, bukan hanya membuat anak tahu dan paham mengapa suatu hal boleh dan tidak boleh dilakukan.
Namun, juga dapat membuat seorang anak menghormati tubuh orang lain.
"Di Indonesia kan diajarin sekedar ini dosa itu enggak dosa, tapi esensinya apa, alasannya apa tidak jelas. Itu lah pentingnya pendidikan seks yang benar, lengkap, dan tepat. Supaya memandang tubuh perempuan itu jangan sebagai objek tapi sebagai subjek," sebut Baby.
Terakhir, Baby menjelaskan kekerasan itu dapat terjadi di 6 area berbeda. Keenam area tersebut dimulai dari area verbal, fisik, psikologis, seksual, ekonomi, dan penelantaran.
Mula-mula adalah kekerasan verbal, di mana orang dihujani dengan kata-kata yang negatif, direndahkan, sehingga ia merasa pantas diperlakukan buruk.
Kemudian selanjutnya kekerasan fisik ini bisa berupa pukulan, tendangan, tamparan, cubitan, atau hal lainnya yang terkait dengan fisik.
"Kekerasan fisik itu lah orang baru mikir itu lah kekerasan dan baru bisa dibuktikan dengan visum. (Padahal) Kekerasan verbal enggak bisa dibuktikan dengan visum kan, tapi orang rusak self esteem-nya karena kekerasan verbal," ungkap Baby.
Untuk kekerasan di ranah psikologis misalnya seseorang diperlakukan dengan tidak terhormat atau tidak bermartabat.
Lanjut ke kekerasan di ranah seksual, di mana seseorang dipaksa melakukan hubungan badan atau tidakan seksual lainnya.
Kelima adalah kekerasan di ranah ekonomi, di mana seseorang yang tidak memiliki penghasilan dibatasi aksesnya terhadap uang.
Terakhir adalah kekerasan berupa penelantaran. Misalnya saja seseorang yang sudah terikat dalam satu hubungan, namun ia ditelantarkan, tidak diurus, diperhatikan, dan tidak diperlakukan dengan layak.
"Jadi kalau fetish itu masuk ke ranah itu (6 area kekerasan) ya bisa masuk ranah pelanggaran dan dipidana juga," pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.