SEBELUM Europhoria 2020 saat ini, haru-biru membincangkan BTS Meal berkelindan dengan panasnya diskusi tentang Pilpres 2024 mendatang.
Survei makin banyak dirilis dikaitkan dengan beragam tanggapan dari pengamat dan tokoh-tokoh partai politik. Masih jauh, masih lama, tetapi sudah ribut diperbincangkan.
Ya, kontestasi pemilihan presiden 2024 masih beberapa tahun lagi, tetapi aromanya telah menyengat kita akhir-akhir ini.
Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto selalu tak luput beredar di pusaran wacana tersebut selain seabrek tokoh lain.
Makin riuh-rendah, makin asyik kata Iwan Fals dalam lagunya bertajuk Asik Gak Asik: “..dunia politik penuh dengan intrik, cubit sana cubit sini itu sudah lumrah, seperti orang pacaran kalau nggak nyubit nggak asyik..”
Adapun BTS berselancar riuh di aneka kanal media sosial. Sejak 9 Juni lalu para ARMY penggandrung boyband BTS seantero bumi (tak kurang 50 negara) mulai ramai memesan dan ingin memiliki (entah sungguh menikmatinya atau tidak?) produk makanan cepat saji berkonsep BTS Meal yang sejatinya terdiri dari nugget, kentang goreng, minuman ringan, dan saus yang katanya didapuk khusus ala BTS bertajuk saus cajun (selain sweet chili sauce).
Menteri Erick Thohir termasuk salah satu tokoh yang terdampak gelombang BTS Meal melalui Sang Putri Bungsu yang merengek meminta kuliner tersebut. Baca juga: Ikut Berburu BTS Meal, Erick Thohir: Buat Anak Saya
Kiranya tsunami Hallyu merasuk cukup dalam dan masif di relung-relung bawah sadar dan benak konsumen milenial Indonesia.
Selain memicu berbagai antrean dan berpotensi melanggar protokol kesehatan, heboh BTS Meal ternyata memantik aneka kreativitas dari para penggilanya.
Ada penggemar yang mengkreasi berbagai pernak-penik seperti gantungan kunci, casing ponsel, dan hiasan botol minum berbasis bungkus serba ungu khas BTS.
Rupanya tak hanya produk kulinernya yang jadi rebutan, bekas bungkusnya pun laris dijual kembali oleh para penggemar melalui jalur daring (e-commerce) dengan harga lebih mahal dari produk makanannya sendiri. Bahkan ada kemasan yang diklaim masih baru dijual seharga 999 dolar AS di negeri Paman Sam.
Dengan demikian, tak berlebihan bila kita katakan bahwa Hallyu atau Korean wave merupakan bentuk dari budaya populer yang secara sengaja dan di-grand design oleh Negeri Ginseng, telah melanda seluruh dunia.
Selain populer, konsistensi dan berbagai inovasi yang diproduksi senantiasa menjaga eksistensi sungguh berhasil.
Diawali pada 1992, Korea membuka hubungan diplomatik lebih intens dengan China dan mulai memasukkan pengaruh budaya Korea ke dalam Negeri Tirai Bambu tersebut. Pada 1997 atau lima tahun kemudian hasilnya mulai tampak.
Drama televisi alias drakor berjudul What Is Love membetot khalayak negeri panda saat ditayangkan di salah satu stasiun televisi milik negara CCTV dan beroleh rating 4,2.
Artinya tak kurang dari 150 juta orang Tiongkok menyaksikan drama korea tersebut, suatu jumlah yang tak sedikit tentu.
Lambat laun, gelombang Korea makin akrab dengan kaum muda China hingga di tahun 1999 istilah Korean Wave atau Hallyu muncul dalam terbitan Beijing Youth Daily untuk pertama kalinya.
Hal itu terus berlanjut. Pada 2000 boyband Korea H.O.T melakukan debutnya dengan konser di Beijing yang disaksikan lebih dari 40 ribu penonton.
Pada 2003 ekspansi Hallyu merangsek ke Jepang melalui drakor Winter Sonata yang juga populer di Indonesia.
Popularitas serial drama ini mendongkrak pula kunjungan wisatawan seantero dunia ke Pulau Nami tempat yang dijadikan setting kisah drama tersebut. Suatu imbas yang memang diharapkan.