KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 telah memberi banyak dampak pada kehidupan, termasuk di bidang pendidikan.
Pembelajaran tatap muka di sekolah dan perguruan tinggi dihentikan dan diganti daring
Lebih dari satu tahun, para siswa menjalani metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena risiko penularan Covid-19 di sekolah.
Terbaru, Kemendikbud berencana membuka lagi pembelajaran tatap muka (PTM) Juli mendatang.
Rencana ini pun kemudian banyak mendatangkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Publik masih khawatir akan lonjakan kasus Covid-19 yang masih belum reda.
Ada banyak alasan untuk tarik napas dalam-dalam di bulan Juni ini. Jumlah daerah berstatuta zona merah terus bertambah. Angka keterisian tempat tidur di RS pun melonjak. Bahkan di Kudus mencapai 90 persen. Apakah ide baik membuka sekolah tatap muka? Silakan simpulkan sendiri.
— Zubairi Djoerban (@ProfesorZubairi) June 4, 2021
Baca juga: Sekolah Tatap Muka Dimulai Juli 2021, Ini Skema dan Panduan Lengkapnya
Pemerhati dan pengamat pendidikan Satria Dharma berpendapat, keamanan semua pihak harus menjadi prioritas utama dalam pengambilan kebijakan di tengah situasi pandemi.
Oleh karena itu, saran dan pertimbangan dari pihak berwenang berkaitan dengan aspek kesehatan, harus menjadi patokan utama
"Kita berhadapan dengan masalah keamanan jiwa dan keselamatan anak beserta seluruh stake holder pendididkan. Saya rasa sebaiknya hal ini didiskusikan dan diperhitungkan dengan matang bersama IDI dan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)," kata Dharma saat dihubungi Kompas.com, Minggu (6/6/2021).
"Mereka yang harus lebih didengarkan dan dipatuhi sarannya ketimbang persoalan akademis atau pun psikologis anak," lanjut dia.
Baca juga: Soal Rencana Pembukaan Sekolah Tatap Muka Juli 2021, Ini Kata IDAI
Terlepas dari kesulitan yang dialami sejumlah pihak terkait pelaksanan PJJ, Dharma menganggap hal itu sebagai harga yang memang harus dibayar atas situasi tidak mudah yang ada sekarang.
"Kita sekarang dalam masa darurat dan belum usai masanya. Kita tidak bisa bersikap seolah kita sudah lepas dari pandemi ini," ujar mantan Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) itu.
Sebut saja jaringan internet dan kepemilikan gawai yang belum merata, tugas dari guru yang terlalu banyak, anak-anak yang lebih banyak menggunakan waktunya untuk bermain, dan lain sebagainya.
"Tentu saja ada harga yang harus kita bayar untuk itu. Kita tidak boleh bersikap egois (memulai PTM), karena taruhannya adalah keselamatan jiwa anak, keluarganya, dan gurunya," ungkap dia.
Sekali lagi, ia meminta seluruh pihak untuk mendengarkan dan mengikuti saran dari pihak yang lebih oaham akan risiko pandemi ini.
"Apa pun saran dari IDI dan IDAI harus kita patuhi dan laksanakan dengan penuh kesadaran dan disiplin," pungkas pelopor gerakan literasi asal Surabaya itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.