Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nagita Slavina, Ikon PON XX Papua, dan Mengenal Apa Itu Cultural Appropriation...

Kompas.com - 05/06/2021, 10:15 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

Hak kekayaan budaya

Drajat mengatakan, hak kekayaan budaya penting diajarkan dan dikenalkan pada masyarakat luas.

"Hak kekayaan budaya ada pada komunitas tertentu. Ini yang harus disuaran. Kebetulan belum ada perlindungannya," ujar dia.

Menurutnya, penting untuk mengajarkan budaya dan turunannya.

Baca juga: Jadwal Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia 3-16 Juni, Ada Timnas Indonesia Vs Thailand, Vietnam, dan UEA

Misalnya di sekolah, mengingat generasi muda memiliki kecendrungan memiliki kreasi yang lebih otonom.

"Ketika kemudian muncul budaya postmodern yang lebih cenderung untuk otonomi kreasi ada pada individu, dan itu memanfaatkan budaya-budaya lokal yang kuno, itu harus diingatkan akan hak kekayaan budaya," jelas Drajat.

Hal ini sebagai langkah, agar konteks dan makna budaya tidak hilang.

Baca juga: Jadwal Lengkap MotoGP Musim 2021

Sementara itu, mengutip pemberitaan Kompas.com, Kamis (3/6/2021), istilah cultural appropriation secara resmi pertama kali masuk dalam Kamus Oxford pada 2017.

Frasa ini dideskripsikan sebagai "the unacknowledged or inappropriate adoption of the customs, practices, ideas, etc. of one people or society by members of another and typically more dominant people or society.”

Penjelasan ini bisa diartikan sebagai adopsi yang tidak diakui atau tidak pantas atas kebiasaan, praktik, ide, dan lain-lain dari satu orang atau masyarakat oleh anggota orang lain dan biasanya orang atau masyarakat yang lebih dominan.

Secara sederhana, praktik ini terjadi ketika seseorang mengadopsi sesuatu dari budaya yang bukan miliknya sendiri termasuk gaya rambut, pakaian, dan cara bicara.

Baca juga: Covid-19, Resesi Ekonomi, dan Perubahan Budaya Kerja

Contohnya ketika penyanyi Justin Bieber dituding melakukan cultural appropriation ketika memakai gaya rambut dreadlocks yang identik dengan budaya orang kulit hitam.

Tudingan ini bagi sebagian orang dinilai tak berdasar. Pasalnya, era globalisasi memungkin pertukaran dan pengaruh budaya tradisional dalam bentuk-bentuk popular.

Akibatnya, ini dianggap bisa membatasi kebebasan berekspresi seseorang dan menjadi belenggu. Misalnya ketika orang tidak lagi bebas memilih kostum Halloween karena khawatir melakukan apropiasi budaya ini.

Baca juga: Jadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia-Malaysia, Bagaimana Sejarah Pantun?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com