Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nagita Slavina, Ikon PON XX Papua, dan Mengenal Apa Itu Cultural Appropriation...

KOMPAS.com - Topik perihal cultural appropriation menjadi perbincangan hangat di media sosial setelah Nagita Slavina disebutkan ditunjuk sebagai Duta Pon XX Papua.

Isu ini berawal dari komika Arie Kriting yang berpendapat bahwa Duta Pon XX Papua seharusnya direpresentasikan langsung oleh perempuan papua.

"Penunjukan Nagita Slavina sebagai Duta PON XX Papua ini memang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya Cultural Appropriation. Seharusnya sosok perempuan Papua, direpresentasikan langsung oleh perempuan Papua," tulis Arie melalui akun Instagramnya.

Sementara itu, diberitakan Kompas.com (4/6/2021), presenter Rafi Ahmad pun angkat bicara terkait kegaduhan tersebut.

Raffi menegaskan, dirinya dan Nagita Slavina bukan menjadi duta seperti yang sebelumnya dikritik oleh Komika Arie Keriting.

"Kita bukan duta, kita ikon. Mungkin itu ada missed communication aja. Kita ikon, dutanya Boaz Solossa," kata Raffi saat ditemui di kawasan Tendean, Jakarta Selatan, Kamis (3/6/2021).

Di luar perdebatan perihal duta dan ikon PON XX Papua, lantas apa itu cultural appropriation?


Hilangnya konteks dan makna

Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Drajat Tri Kartono menjelaskan bahwa cultural appropriation berkaitan dengan hilangnya konteks dan makna budaya.

"Nagita mewakili budaya dominan yang kelas atas ya, kaya. Kemudian ini ada budaya orang Papua. Diambil hanya simbolnya saja, sementara kontekstualitasnya, makanya itu tidak diambil," jelas Drajat kepada Kompas.com, Jumat (4/6/2021).

Salah satu unsur budaya yang bisa diidentifikasi dengan jelas adalah simbol.

Simbol tersebut bisa berwujud pakaian, tarian, warna, dan lain sebagainya.

"Di dalam simbol itu sendiri ada maknanya dan bagi masyarakat, makna itu penting. Simbol dan makna itu ada konteks," kata Drajat.

Simbol, makna, konteks tersebut kemudian menjadi pedoman perilaku bagi masyarakat pemilik budaya.

Cultural appropriation terjadi karena budaya dominan, mengambil budaya yang tidak dominan tanpa memperhatikan makna dan konteksnya.

"Bahasa kasarnya adalah mengambil budaya kelompok-kelompok minoritas atau kelompok tertentu. Diambil hanya simbolnya, dimanfaatkan untuk kepentingan lain, bahkan dalam beberapa hal untuk kepentingan bisnis," terang Drajat.

Sementara itu, menurut Drajat, pemilik budaya berisiko terkena imbas dari cultural appropriation. Misalnya stereotip atau tidak mendapat keuntungan apa pun.


Bicara dengan orang Papua

Salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan cultural appropriation adalah dengan bicara langsung dengan pemilik budaya.

"Kalau Nagita memang mau menjadi duta dan mengenakan atribut kultural Papua, sebaiknya dia bicara dengan orang Papua atau memakai pakaian sesuai dengan simbol, makna dan konteks," tutur Drajat.

Hal ini juga disertai permintaan maaf dan pelibatan orang asil papua (OAP) di kemudian hari.

Menurut Drajat, Nagita hanya salah satu orang yang tidak mengerti hak kekayaan budaya.

"Ini bukan hanya Nagita sebenarnya, ini jadi bagian dari pendidikan di Indonesia. Bahwa pemanfaatan atau kejadian cultural appropriation itu harus dihindari dan diajarkan," imbuh dia.

Selain itu, Drajat juga mengimbau kepada para penyelanggara acara yang memuat unsur kebudayaan, agar cermat mengidentifikasi simbol, makna, dan konteks budaya.

"Itu harus paham, mengidentifikasi untuk pencegahan terjadinya cultural appropriation," katanya.


Hak kekayaan budaya

Drajat mengatakan, hak kekayaan budaya penting diajarkan dan dikenalkan pada masyarakat luas.

"Hak kekayaan budaya ada pada komunitas tertentu. Ini yang harus disuaran. Kebetulan belum ada perlindungannya," ujar dia.

Menurutnya, penting untuk mengajarkan budaya dan turunannya.

Misalnya di sekolah, mengingat generasi muda memiliki kecendrungan memiliki kreasi yang lebih otonom.

"Ketika kemudian muncul budaya postmodern yang lebih cenderung untuk otonomi kreasi ada pada individu, dan itu memanfaatkan budaya-budaya lokal yang kuno, itu harus diingatkan akan hak kekayaan budaya," jelas Drajat.

Hal ini sebagai langkah, agar konteks dan makna budaya tidak hilang.

Sementara itu, mengutip pemberitaan Kompas.com, Kamis (3/6/2021), istilah cultural appropriation secara resmi pertama kali masuk dalam Kamus Oxford pada 2017.

Frasa ini dideskripsikan sebagai "the unacknowledged or inappropriate adoption of the customs, practices, ideas, etc. of one people or society by members of another and typically more dominant people or society.”

Penjelasan ini bisa diartikan sebagai adopsi yang tidak diakui atau tidak pantas atas kebiasaan, praktik, ide, dan lain-lain dari satu orang atau masyarakat oleh anggota orang lain dan biasanya orang atau masyarakat yang lebih dominan.

Secara sederhana, praktik ini terjadi ketika seseorang mengadopsi sesuatu dari budaya yang bukan miliknya sendiri termasuk gaya rambut, pakaian, dan cara bicara.

Contohnya ketika penyanyi Justin Bieber dituding melakukan cultural appropriation ketika memakai gaya rambut dreadlocks yang identik dengan budaya orang kulit hitam.

Tudingan ini bagi sebagian orang dinilai tak berdasar. Pasalnya, era globalisasi memungkin pertukaran dan pengaruh budaya tradisional dalam bentuk-bentuk popular.

Akibatnya, ini dianggap bisa membatasi kebebasan berekspresi seseorang dan menjadi belenggu. Misalnya ketika orang tidak lagi bebas memilih kostum Halloween karena khawatir melakukan apropiasi budaya ini.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/05/101500765/nagita-slavina-ikon-pon-xx-papua-dan-mengenal-apa-itu-cultural

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke