Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Greg Teguh Santoso
Versatilist dan Auditor Sistem Manajemen

Sedang menyelesaikan studi S3 di Taiwan sembari menjadi pengajar di beberapa universitas.  Seorang versatilist yang gemar bertualang di dunia maya dan berkolaborasi di dunia nyata, membaca, mengajar, dan menulis. Mari mampir, tegur-sapa di versatilistmilenial2020@gmail.com.

Bitcoin dan Kebebalan Ekologis

Kompas.com - 04/06/2021, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada titik inilah, kita perlu melihat secara kritis fenomena tersebut melalui pisau analisa logika waktu pendek.

Merujuk pada pemikiran Ernest Gellner bahwa legitimasi masyarakat modern saat ini amat tergantung pada kemakmuran (atau keberpunyaan?) dan pertumbuhan ekonomi.

Segala sesuatunya cenderung diukur dari perspektif ekonomi, akibatnya, kegunaan diacu sebagai nilai tertinggi sedangkan nilai-nilai lain dinomorduakan.

Artinya, segala sesuatu senantiasa ditimbang dari segi ada manfaatnya atau tidak. Tak pelak, kearifan lama “berakit-rakit dahulu, bersenang-senang kemudian” tak lagi dikenal.

Yang justru mengemuka adalah “secepat mungkin pergi ke hulu untuk bersenang-senang”.

Akibatnya, ketabahan masyarakat dalam menunda kepuasan hidup telah sirna. Dengan beragam jaring kemudahan dunia digital yang ditebarkan, masyarakat dijebak dalam rawa-rawa konsumerisme.

Pengendalian diri -yang merupakan salah satu satu aspek penting dari asketisme- telah dilecehkan.

Kegigihan dan disiplin yang membangun tatanan masyarakat moderen bentrok dengan hasrat mencari kesenangan dan kecenderungan instant success.

Inilah buah percumbuan manis antara maraknya digitalisasi yang dirasuki roh kapitalisme dalam kelindan api semangat konsumerisme tanpa jeda.

Tak berlebihan bila dinyatakan bahwa logika asketisme duniawi ibaratnya belati yang menghujam ke dada sendiri sebagaimana pernah diperingatkan Weber lebih seabad lampau yang relevan hingga kini.

Awalnya agama memang membantu mengembangkan kapitalisme. Namun pada akhirnya kapitalisme sendiri membuka kotak pandora bagi kehancuran religiusitas. Asketisme (baca: kapitalisme) berusaha mencari Tuhan, tetapi malah menciptakan setan.

Perkembangan sejarah kapitalisme pun memasuki suatu ironi peradaban. Rasionalitas kapitalisme menghasilkan self sufficient dan self sustaining.

Rasionalitas berubah menjadi irrasionalitas. Manusia kini pun terjebak pada absurditas kehidupan. Etos kerja puritan yang bermaksud mencapai peradaban tinggi justru menggiring manusia ke lembah dehumanisasi.

Asketisme dan puritanisme bukannya meningkatkan kualitas hidup nan humanis, melainkan memerosotkan akhlak dan moralitas karena digerogoti tuntutan perkembangan ekonomi yang terus-menerus mentransformasikan diri.

Absurditas inilah yang bila kita baca dalam konteks kecerdasan ekologis telah berpaling menjadi kedungunan ekologis yang tamak mengorbankan segala demi pemenuhan nafsu sesaat akan aneka keinginan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com