Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Greg Teguh Santoso
Versatilist dan Auditor Sistem Manajemen

Sedang menyelesaikan studi S3 di Taiwan sembari menjadi pengajar di beberapa universitas.  Seorang versatilist yang gemar bertualang di dunia maya dan berkolaborasi di dunia nyata, membaca, mengajar, dan menulis. Mari mampir, tegur-sapa di versatilistmilenial2020@gmail.com.

Bitcoin dan Kebebalan Ekologis

Kompas.com - 04/06/2021, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kecerdasan ekologis memadukan keterampilan kognitif tersebut dengan empati terhadap segala bentuk kehidupan, menunjukkan empati tersebut saat merasa sedih melihat tanda-tanda “penderitaan” bumi.

Beranjak dari empati yang meluas ini bakal meningkatkan kemampuan dan kemauan analitis rasional terhadap segala unsur penyebab dan memengaruhi motivasi untuk mengulurkan tangan.

Ironisnya, kaum milenial saat ini menjadi garda depan dalam berbagai upaya penambangan mata uang kripto beserta turunannya yang eksploitatif nan konsumtif.

Di sisi lain, kaum milenial jualah yang giat menggelorakan semangat ekonomi sirkular (circular economy) guna memanfaatkan limbah dan mengurangi berbagai bentuk pencemaran lingkungan.

Kontras realitas di atas kian menggelitik bila kita bertanya: mengapa?

Kedunguan ekologis?

Guna menjawabnya, hendak tak hendak kita mesti masuk dalam refleksi kritis kekinian. Era digital 4.0 merevolusi nyaris seluruh sendi kehidupan manusia, diakselerasi dan makin kompleks dengan pandemi Covid-19.

Dalam level kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya, era digital memaksa manusia tunggang langgang bersama tsunami informasi. Manusia seolah dihadapkan hanya pada dua pilihan: ikut bersicepat atau mati.

Beragam peristiwa baik berskala global, nasional, maupun lokal mendera kita silih berganti, nyaris tiada henti melalui beragam kanal teknologi informasi saat ini.

Belum lagi peristiwa-peristiwa keseharian yang lebih bernuansa personal atau keluarga. Di tengahnya, kita kerap kali dikepung berbagai macam godaan iklan yang menawarkan kemudahan, kemewahan, dan kenikmatan hidup. Kita makin pengap, seolah tiada jenak untuk menghirup nafas sembari melemaskan syaraf.

Dalam konteks masyarakat kita saat ini, terjadi kompetisi telanjang antara pemenuhan kemajuan ekonomi dan tuntutan kebutuhan rohani serta sosial.

Terjadi banyak paradoks, antara kesalehan batin dan keserakahan hedonis, antara lagak-laku keseharian dengan jargon-jargon retorika nan idealis.

Fenomena tersebut justru diperparah oleh faktor amplifikasi media sosial nan tak terperi. Umat manusia, terkhusus kaum milenial, tak lagi hidup di dunia fisikal saja melainkan juga di jagat digital.

Kecanggihan DNA (Device, Network, Apps) sebagai anak kandung era digital memudahkan manusia berjejaring, eksistensi kita beralih dalam jejaring dunia maya.

Internet of Things (IoT) dan algoritma big data mempercepat terbentuknya hyperconnected society, masyarakat saling terhubung.

Kesaling-terhubungan ini mendisrupsi cara manusia berkarya dan mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan (needs) maupun keinginannya (wants).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com