Pada titik inilah, kita perlu melihat secara kritis fenomena tersebut melalui pisau analisa logika waktu pendek.
Merujuk pada pemikiran Ernest Gellner bahwa legitimasi masyarakat modern saat ini amat tergantung pada kemakmuran (atau keberpunyaan?) dan pertumbuhan ekonomi.
Segala sesuatunya cenderung diukur dari perspektif ekonomi, akibatnya, kegunaan diacu sebagai nilai tertinggi sedangkan nilai-nilai lain dinomorduakan.
Artinya, segala sesuatu senantiasa ditimbang dari segi ada manfaatnya atau tidak. Tak pelak, kearifan lama “berakit-rakit dahulu, bersenang-senang kemudian” tak lagi dikenal.
Yang justru mengemuka adalah “secepat mungkin pergi ke hulu untuk bersenang-senang”.
Akibatnya, ketabahan masyarakat dalam menunda kepuasan hidup telah sirna. Dengan beragam jaring kemudahan dunia digital yang ditebarkan, masyarakat dijebak dalam rawa-rawa konsumerisme.
Pengendalian diri -yang merupakan salah satu satu aspek penting dari asketisme- telah dilecehkan.
Kegigihan dan disiplin yang membangun tatanan masyarakat moderen bentrok dengan hasrat mencari kesenangan dan kecenderungan instant success.
Inilah buah percumbuan manis antara maraknya digitalisasi yang dirasuki roh kapitalisme dalam kelindan api semangat konsumerisme tanpa jeda.
Tak berlebihan bila dinyatakan bahwa logika asketisme duniawi ibaratnya belati yang menghujam ke dada sendiri sebagaimana pernah diperingatkan Weber lebih seabad lampau yang relevan hingga kini.
Awalnya agama memang membantu mengembangkan kapitalisme. Namun pada akhirnya kapitalisme sendiri membuka kotak pandora bagi kehancuran religiusitas. Asketisme (baca: kapitalisme) berusaha mencari Tuhan, tetapi malah menciptakan setan.
Perkembangan sejarah kapitalisme pun memasuki suatu ironi peradaban. Rasionalitas kapitalisme menghasilkan self sufficient dan self sustaining.
Rasionalitas berubah menjadi irrasionalitas. Manusia kini pun terjebak pada absurditas kehidupan. Etos kerja puritan yang bermaksud mencapai peradaban tinggi justru menggiring manusia ke lembah dehumanisasi.
Asketisme dan puritanisme bukannya meningkatkan kualitas hidup nan humanis, melainkan memerosotkan akhlak dan moralitas karena digerogoti tuntutan perkembangan ekonomi yang terus-menerus mentransformasikan diri.
Absurditas inilah yang bila kita baca dalam konteks kecerdasan ekologis telah berpaling menjadi kedungunan ekologis yang tamak mengorbankan segala demi pemenuhan nafsu sesaat akan aneka keinginan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.