Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makna Ucapan "Minal Aidin Wal Faizin" dan Sejarah Tradisi Halal Bihalal

Kompas.com - 13/05/2021, 13:03 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pada hari raya Idul Fitri, umat Islam di Indonesia memiliki tradisi bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat, teman, dan juga tetangga.

Tidak hanya bertemu dan bertukar kabar, silaturahmi tersebut juga dijadikan momen untuk saling meminta maaf terhadap kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.

Anak-anak sungkem pada orang tuanya. Teman, kerabat, dan tetangga, saling berjabat tangan.

Momen saling bermaafan itu juga dikenal dengan istilah "halal bihalal"

Pada saat bermaaf-maafan, umat Islam di Indonesia biasa mengucapkan satu kalimat yang sama "Minal Aidin Wal Faizin".

Baca juga: Jadwal Operasional Bank Mandiri, BCA, BNI, dan BRI Selama Libur Lebaran 1442 H

Apa maknanya?

Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menjelaskan, "Minal Aidin Wal Faizin" adalah istilah yang dipopulerkan di Indonesia dan menjadi tradisi Islam.

"Minal Aidin, termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah. Fitrah manusia yang sejati, nuraninya menyala, punya sifat baik dan peduli. Wal Faizin, dan orang yang beruntung. Karena dosanya diampuni, amal-amal baiknya diterima oleh Allah. Itulah makna dari Minal Aidin Wal Faizin," kata Cholil saat dihubungi Kompas.com, Selasa (4/5/2021).

Tidak hanya itu, ucapan Minal Aidin Wal Faizin juga mengandung harapan agar setiap muslim selalu dalam keadaan baik, dan mudah-mudahan amalan Ramadhan yang telah dijalani dapat membuat menjadi lebih baik.

"Mudah-mudahan amal kita Ramadhan ini menjadi latihan, yang nantinya setelah Ramadhan bisa menjadi lebih baik, dan kita tahun depan bisa sampai pada Ramadhan yang akan datang," kata Cholil.

Baca juga: Jadwal Operasional Pos Indonesia, SiCepat, dan JNE Selama Libur Lebaran 2021

Sejarah tradisi halal bihalal

Presiden terpilih Joko Widodo saat melakukan selfie dengan para relawan dalam acara Halal Bihalal, di Kembang Goela Resto, Jakarta, Minggu (3/8/2014)Alsadad Rudi Presiden terpilih Joko Widodo saat melakukan selfie dengan para relawan dalam acara Halal Bihalal, di Kembang Goela Resto, Jakarta, Minggu (3/8/2014)

Sementara itu, meski istilah halal bihalal berasal dari bahasa Arab, namun ternyata orang Arab sendiri tidak mengerti makna dan esensi dari halal bihalal.

Hal itu karena, tradisi halal bihalal adalah tradisi yang khas dan hanya dijumpai pada komunitas muslim di Indonesia.

Mengutip Kompas.com, 28 Juni 2017, pencetus terminologi halal bihalal adalah KH Wahab Chabullah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU).

Istilah tersebut muncul sekitar pertengahan Ramadhan pada 1948.

Baca juga: Harlah Ke-95 NU, Bagaimana Sejarah Pendirian Nahdlatul Ulama?

Ketika itu, Presiden Soekarno tengah dihadapkan dengan permasalahan disintegrasi bangsa yang kian memanas pasca-pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan PKI di Madiun.

Di tengah situasi pelik itu, para elit politik pada saat itu justru saling bertengkar dan tak mau duduk bersama mencari solusi.

KH Wahab Chasbullah, yang dimintai pendapat oleh Bung Karno, kemudian menyarankan acara silaturahim di antara elit politik dengan memanfaatkan momentum Idul Fitri.

Meski sepakat dengan usulan itu, tapi Bung Karno merasa kurang cocok dengan penggunaan kata silaturahim untuk mendinginkan suhu politik saat itu.

Menurutnya, istilah itu terlalu biasa dan harus dicari istilah lain agar pertemuan itu jadi momentum dan mengena bagi para elit politik yang hadir.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Muhammadiyah Didirikan di Yogyakarta, Bagaimana Awal Mulanya?


Saling memaafkan saling menghalalkan

KH Wahab Chasbullah kemudian menjelaskan sebuah alur pemikiran yang menjadi kunci pada penemuan istilah 'halal bihalal'.

Diawali dengan penjelasan situasi para elit politik yang saling serang dan menyalahkan satu sama lain, KH Wahab menjelaskan hukum saling menyalahkan dalam Islam.

Dia menyebut bahwa saling menyalahkan adalah dosa dan hukumnya haram. Agar elit politik terlepas dari dosa (haram), maka di antara mereka harus dihalalkan.

Caranya, para elit politik harus duduk satu meja, berbicara satu sama lain, saling memaafkan, dan saling menghalalkan.

Baca juga: Ingat, Ini Aturan Lengkap Pengetatan dan Peniadaan Mudik Lebaran 2021

KH Wahab Chasbullah menyebut acara itu sebagai 'Thalabu halal bi thariqin halal', maksudnya adalah mencari penyelesaian masalah atau keharmonisan hubungan dengan cara memaafkan kesalahan.

Alur pemikiran itu kemudian membawa K.H Wahab pada sebuah istilah yang hingga saat ini dikenal luas di Indonesia, yaitu halal bihalal.

Bung Karno pun menerima baik usulan itu. Saat Idul Fitri tiba, ia mengundang seluruh tokoh politik ke Istana untuk mengikuti acara halal bihalal.

Untuk pertama kalinya sejak perbedaan pendapat di antara mereka muncul, para elite politik yang berbeda-beda itu duduk di satu meja dan momen tersebut dinilai babak baru menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Sejak saat itu, acara tatap muka, berbincang-bincang serta saling bersalam-salaman tersebut diikuti oleh instansi pemerintah hingga masyarakat luas hingga saat ini.

Baca juga: Simak, Berikut Sanksi bagi ASN yang Nekat Mudik Lebaran 2021\

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Mudik Lokal di Wilayah Aglomerasi Dilarang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com