Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pudarnya Tradisi Membangunkan Sahur di Asia Selatan

Kompas.com - 11/05/2021, 20:05 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, memiliki bermacam-macam tradisi yang dilakukan saat Ramadhan.

Di momen Ramadhan 1442 H ini, umat Islam di berbagai belahan dunia pun melaksanakan kewajiban puasa.

Akan tetapi, ada beberapa tradisi Ramadhan yang mulai pudar di Asia Selatan.

Baca juga: Hukum Ngupil dan Mengorek Telinga Saat Bulan Ramadhan, Batalkan Puasa atau Tidak?

Apa saja tradisi itu?

Sahar Khan di Kashmir

Melansir Al Jazeera, Rabu (6/5/2021), tradisi membangunkan sahur di Pulwarna Kashmir mulai pudar.

Tariq Ahmed Sheikh (18) dan ayahnya, Showkat (51) biasa bangun dini hari untuk menyusuri gang-gang gelap di desa mereka.

Sambil memegang drum yang digantung di leher, dengan dua stik drum di tangan, dia meneriakkan “waqt-e-sahar” (waktunya sahur).

Mereka berjalan sekitar 5 km dan menjangkau sekitar 200 rumah, kemudin kembali ke rumah setelah satu jam untuk sahur.

Baca juga: Antara Berbuka Puasa atau Shalat Maghrib, Mana yang Lebih Baik Didahulukan?

Duo ayah-anak itu menabuh genderangnya untuk membangunkan sahur warga di lingkungan mereka.

Kegiatan semacam ini, disebut dengan Sahar Khan di wilayah Himalaya yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Showkat mencari nafkah dengan bekerja sebagai Sahar Khan selama Ramadhan selama lebih dari dua puluh tahun. Dia mewarisi pekerjaan dari ayahnya.

Selama tiga tahun terakhir, ia telah menemani putranya, mengajarinya agar bisa meneruskan tradisi ini,

Baca juga: Bolehkah Menggantikan Puasa untuk Orang yang Sudah Meninggal Dunia?

Kini jam alarm dan ponsel pintar telah mengambil peran mereka. Penghasilan mereka pun berkurang.

Penduduk di lingkungan mereka biasa member apa pun atas balas jasa mereka.

Kebanyakan memberi beras atau uang tunai sekitar 5-10 ribu rupee (Rp 1.000-Rp 19.000).

Meski demikian, Showkat mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah pekerjaan mulia. Selain itu, mereka ingin menjaga agar tradisi Sahar Khan tetap hidup.

Baca juga: Berikut Hukum Tidur Setelah Makan Sahur dan Shalat Subuh Saat Puasa Ramadhan

Wilayah Kashmir Utara

Hal serupa juga dirasakan oleh Nazir Ahmed Parray, seorang Sahar Khan berusia 48 tahun dari Desa Hajin di Kashmir Utara.

Ayahnya bekerja sebagai Sahar Khan selama sekitar 70 tahun sebelum menurunkan pekerjaan itu kepadanya dan adik laki-lakinya.

Sementara itu, Parray sendiri telah menjadi Sahar Khan selama 30 tahun.

“Meskipun beberapa orang tidak ingin kami mengganggu mereka pada tengah malam, ada yang menginginkan kami untuk menjaga tradisi tetap hidup dan bahkan memanggil kami untuk datang ke daerah mereka selama Ramadhan,” katanya.

Baca juga: Bolehkah Menggabungkan Puasa Syawal dan Utang Puasa Ramadhan?

Parray juga menyaksikan pergolakan antara India dan Pakistan pada 1990-an.

Saat konflik memanas, Parray mengingat larangan yang diberlakukan oleh pemerintah daerah pada malam hari.

Sahar Khan pun dihentikan oleh tentara yang berpatroli dan diintrogasi tentang pergerakan mereka pada tengah malam.

Baca juga: 9 Hal Utama yang Membatalkan Puasa

Tradisi di Srinagar

Penyair dan aktivis budaya Kashmir terkemuka, Zareef Ahmad Zareef mengatakan tradisi Sahar Khan datang ke wilayah Kashmir dari Asia Tengah.

Ketika dia masih kecil, dia mengatakan hanya ada satu Sahar Khan, bermana Ghulam Mohammad Baengi, untuk seluruh Srinagar, kota utama di wilayah itu.

Zareef mengatakan Baengi akan menempuh jarak yang jauh dengan berjalan kaki, membangunkan orang-orang dengan meniup tanduk domba berbentuk gulungan yang menghasilkan suara keras.

"Dia juga akan membaca ayat-ayat pujian Nabi Muhammad saat berjalan di jalan-jalan kosong Srinagar pada tengah malam. Orang-orang, kebanyakan anak-anak, akan menunggu suaranya dan kadang-kadang keluar ke jalan dan mengintip melalui jendela untuk melihat sekilas," kata Zareef.

Meskipun orang sekarang mengandalkan jam alarm dan ponsel, Zareef mengatakan tidak ada gadget modern yang dapat menggantikan Sahar Khan.

Baca juga: Berikut Hukum Tidur Setelah Makan Sahur dan Shalat Subuh Saat Puasa Ramadhan

Dampak pandemi

Seperti penduduk ibu kota India lainnya, New Delhi, menghadapi ketegangan akibat lonjakan kasus Covid-19.

Pandemi pun berdampak pada perayaan Ramadhan. Kota berpenduduk lebih dari 20 juta orang itu sekarang menjalani lockdown.

"Tradisi membangunkan orang untuk sahur akan segera menjadi sejarah jika situasinya terus berlanjut," kata Fared Ahmed (46).

Ahmed adalah satu dari sedikit “munaadis” (penjaga kota) yang tersisa untuk menyerukan sahur orang-orang di lingkungannya.

Baca juga: Berikut Hukum Tidur Setelah Makan Sahur dan Shalat Subuh Saat Puasa Ramadhan

Pada 1980-an, bagian kota tua Delhi, tempat kedudukan kaisar Mughal dan sekarang lebih populer sebagai Old Delhi, memiliki banyak munaadi.

Penduduk memberikan uang tunai dan makanan lezat atas jasa mereka.

Namun gadget modern seperti jam alarm dan ponsel telah membuat tradisi ini semakin pudar.

Beberapa masih menjadi sukarelawan tanpa pamrih.

Mengenakan kurta-piyama dan kopiah, Ahmed sering mengunjungi jalan-jalan kosong di Lal Kuan Bazaar, Farash Khana dan Rakabganj, berhati-hati agar tidak mengganggu zona munaadi lain.

Akan tetapi, Ahmed kehilangan pekerjaannya akibat adaya pengembang real estat baru-baru ini.

Baca juga: Bolehkah Sahur Saat Azan Subuh Dikumandangkan?

Tradisi kasidah di Bangladesh

Di Dhaka, ibu kota Bangladesh, sekitar pukul 2 dini hari, sekelompok sukarelawan bernyanyi sambil berkeliling melewati gang-gang sempit di bagian kota untuk membangunkan "rozedaar" (mereka yang berpuasa).

Mereka membawakan lagu kasidah dari puisi Urdu dan merupakan tradisi Ramadhan di daerah itu.

Bagian kota tua Dhaka memiliki tradisi penyanyi kasidah berasal dari era Mughal, tetapi tradisi tersebut perlahan-lahan memudar.

Baca juga: Panduan Takbiran Menyambut Hari Raya Idul Fitri 1442 H

Rashed Al Amin, seorang pengusaha kulit dari daerah Khajidewan di Old Dhaka, mengatakan bahwa munculnya TV satelit, internet, dan media sosial, mengubah kebiasaan tidur anak muda sebelum sahur.

Sementara itu menurut Azim Bakhsh, ketua Dhaka Kendra, sebuah organisasi budaya di kota, mengatakan bahwa keberadaan apartemen bertingkat tinggi juga menjadi faktor di balik tradisi yang perlahan memudar

Selain itu, kata Bakhsh karena lagu-lagu kasidah kebanyakan berbahasa Urdu, banyak orang yang menganggapnya sebagai tradisi non-Bengali.

“Tapi itu tidak benar. Urdu di Dhaka tidak seperti Urdu di Pakistan. Ini adalah bahasa Urdu sehari-hari dengan sedikit gangguan dari kata-kata Bangla ke dalamnya,” kata dia.

Meski perlahan mulai ditinggalkan, masih ada segelintir orang yang menaruh perhatian dan melestarikan tradisi Ramadhan ini.

Baca juga: Simak, Ini Panduan Shalat Idul Fitri 1442 H dari Kemenag

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com