21 April selalu kita peringati sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-jasa perjuangan pahlawan nasional bernama R.A. Kartini Djojo Adhiningrat (1879-1904) yang juga dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi nusantara dan simbol kemerdekaan bangsa melalui gerakan feminis.
Umumnya, dalam perayaan Hari Kartini di Indonesia perempuan-perempuan kerap mengenakan sanggul dan kebaya sebagai penghormatan simbolik terhadap tokoh perempuan keturunan ningrat Jawa ini. Namun yang jauh lebih penting adalah melihat kontribusi dan pengaruh pemikiran Kartini bagi kemajuan Indonesia.
Merayakan Kartini berarti merayakan serta mengkaji ulang pemikiran-pemikiran Kartini yang sangat inspiratif dalam konteks perjuangannya melawan penjajahan, ketidakadilan berbasis gender, serta berbagai persoalan sosial dan kultural lainnya.
Sebagai perempuan bumiputera keturunan Jawa yang hidup di era kolonial Belanda, perjuangan Kartini bergerak di level ideologis dan intelektual.
Melalui tulisan-tulisannya Kartini banyak berbicara tentang keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat pribumi pada masa itu. Gagasan-gagasannya juga meliputi banyak persoalan mulai dari agama, kolonialisme, pendidikan, hingga sastra dan Seni.
Gagasannya ihwal keagamaan misalnya, Lilis Muchoiyyaroh (2019) dalam Rekonstruksi Pemikiran Kartini tentang Keagamaan untuk Memperkuat Integritas Nasional, Kartini sudah menyoal perihal praktik keagamaan yang bersifat ekslusif dan picik.
Kritiknya dialamatkan pada interpretasi teologis yang menekankan perbedaan dan kekerasan. Bagi Kartini, agama seharusnya dipahami dan berfungsi sebagai ajaran yang menekankan pada kasih sayang dan humanisme sehingga seharusnya mampu merangkul umat dengan berbagai latar belakang, dan tidak ada lagi kekerasan atas nama agama.
Sementara itu di level pendidikan, status sosialnya sebagai putri Bupati Jepara membuat Kartini dapat mengakses pengetahuan di Europes Lagere School (ELS) meskipun hanya hingga usia 12 tahun karena pada masa itu perempuan berusia 12 harus tinggal di rumah dan akan dipersiapkan untuk menikah.
Akan tetapi, semangat Kartini untuk melakukan emansipasi tidak lantas surut. Ia bersama saudara perempuannya aktif memberikan pendidikan kepada kaum miskin khususnya anak-anak dan perempuan. Bagi Kartini, pendidikan adalah senjata utama melawan segala penindasan.
Pentingnya pendidikan juga disuarakan Kartini dalam melawan kolonialisme. Okky Madasari dalam artikelnya Teori Kartini untuk Silicon Valley menulis, bagi Kartini penguasaan ilmu dari Barat adalah syarat menyaingi dan mengalahkan dominasi Barat. Namun, menguasai ilmu Barat tidak berarti menghamba pada Barat.
Selain itu, Kartini juga memiliki kegelisahan dalam hal ketidakadilan gender. Ia menggugat tradisi feodalistik Jawa yang dianggap memosisikan perempuan sebagai objek inferior yang hak-haknya banyak ditentukan oleh tradisi dan ideologi patriarki.
Kritiknya terhadap budaya Jawa ini didasari oleh pengalaman hidupnya sebagai puteri ningrat. Ia sangat prihatin akan nasib perempuan pada masa itu, terutama berkaca pada pengalaman saudara perempuannya yang dinikahkan dan dipoligami serta ibu kandungnya yang diperlakukan tidak adil dalam tradisi bangsawan Jawa.
Oleh karena itu, dengan segala keterbatasannya sebagai seorang perempuan, perlawanannya terhadap cengkraman tradisi Jawa ia lontarkan melalui permohonannya kepada suaminya, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhinigrat, seorang bangsawan Rembang.
Sebelum menikah, Kartini memohon untuk tetap diberikan kesempatan memberikan pendidikan kepada rakyat jelata, menolak dibebani oleh hal-hal yang membuatnya tidak berkembang, serta meminta ibu kandungya (yang saat itu adalah salah seorang selir Bupati) untuk diperlakukan secara layak dan adil.
Setelah menikah, Kartini masih aktif menuliskan pemikirannya, salah satunya di majalah perempuan, De Hoandsche Lelie. Ia juga aktif menulis surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda seperti Stella Zehandelaar dan Rosa Manuela Abdendanon dan menceritakan tentang keprihatinannya akan nasib rakyatnya di bawah pemerintahan kolonial Belanda.