VIDEO penyerangan Mabes Polri bermunculan tak lama setelah peristiwa ini terjadi pada Rabu sore, 31 Maret 2021. Tiap video menampilkan rentetan peristiwa secara mendetail hingga akhirnya si penyerang tewas.
Beberapa jam kemudian, foto jasad terduga teroris lengkap dengan close-up wajahnya yang terpercik darah muncul di salah satu berita media daring besar. Tertulis di bawah foto, sumber gambar: istimewa.
Biodata terduga teroris juga menyertai foto tadi, lengkap hingga keterangan tempat tinggalnya.
Satu jam setelahnya Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Dedy Permadi menyatakan pihaknya memulai patroli di dunia maya buat merazia konten video atau foto penyerangan di Mabes Polri itu.
Alasannya, konten video atau foto yang menampilkan aktivitas kekerasan dan gambar korban, bisa menimbulkan keresahan publik.
Baca juga: Kominfo Pantau Foto dan Video Sensitif Terkait Penyerangan Mabes Polri
Foto atau video yang menampilkan kekerasan memang memicu kontroversi di ranah media karena memang tidak selalu ada aturan soal pemuatannya.
Pada Pedoman Media Siber misalnya, hal ini tidak diatur secara khusus walau foto seperti ini kerap muncul, mulai dari aksi kriminalitas, kecelakaan, hingga kasus terorisme.
Ada dua sisi yang punya pandangan berbeda terhadap visual bermuatan kekerasan. Sama seperti prinsip kerja jurnalisme cover both sides, ada baiknya redaksi juga perlu menimbang dua perspektif pada khalayak sebelum memutuskan menayangkannya.
Kelompok pertama adalah yang melihat media yang menayangkan foto kekerasan sejatinya hanya menampilkan realitas yang ada. Tidak semua realitas berisi keindahan. Ada realitas yang membuat orang marah, sedih, atau takut.
Kekerasan yang terjadi di masyarakat perlu juga ditampilkan, karena memang itulah kenyataannya. Menyembunyikannya justru bisa membuat masyarakat malah abai terhadap kenyataan yang ada.
Di lain sisi, ada mereka yang berpendapat foto semacam ini tidak manusiawi untuk ditayangkan. Atau seperti Kominfo yang berpandangan bahwa foto itu bisa menimbulkan keresahan publik.
Kedua pandangan tadi layaknya dua sisi mata uang yang bertolak belakang. Tapi tentu saja ada sisi ketiga: perspektif jurnalisme atau pertimbangan internal dari redaksi menelaah apakah ada nilai berita dari foto tersebut.
Pertanyaan ini bisa langsung dijawab, foto mayat tersebut punya nilai berita. Setidaknya foto itu memenuhi kriteria aktualitas berita.
Namun proses pengambilan keputusan memunculkan foto seharusnya tidak berhenti sampai di situ. Apakah karena foto tersebut memiliki nilai berita, maka ia serta-merta layak ditayangkan?
Inilah pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang semestinya dijawab oleh media sebelum menayangkan foto bermuatan kekerasan: