Politik devide et impera VOC ini yang membuat pertikaian antar saudara dalam kerajaan Mataram dan kerajaan dipecah-pecah. Mataram terpecah setelah perjanjian Giyanti, 13 Frebuari 1755.
“Ya, ya, ya, ya,” itulah kata yang selalu muncul dari Anneke.
Seorang pejabat Kementrian Luar Negeri Belanda lainnya yang ikut mengantar para wartawan Indonesia, sempat berkata dalam canda, “Politik devide et impera itu adalah bagian dari strategi besar VOC menghadapi persaingan ketat di Hindia Belanda saat itu.
Selasa, 2 Maret 2021 lalu, ketika saya kontak telepon Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998 - 2005, Ahmad Syafii Maarif (Buya), kami antara lain membahas masalah korupsi saat ini di Indonesia.
Buya menghubungkan korupsi di sebuah anak perusahaan BUMN yang bergerak di bidang BBM sebagai warisan dari VOC.
Buya (83) yang tinggal di Sleman, Yogyakarta, antara lain juga mengatakan, seandainya Nusantara ini berada di dekat gurun Shara Afrika, udah “kukut” (bahasa Jawa artinya bubar) seperti VOC.
BUMN tentu tidak sama dengan VOC. BUMN, Badan Usaha Milik Negara terkait erat dengan pemerintah RI. Sedangkan VOC adalah perhimpunan kelompok-kelompok pedagang yang direstui oleh negara Belanda. VOC bubar pada akhir Desember 31 Desember 1799, antara lain karena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tapi VOC telah banyak menyumbang untuk kemakmuran Belanda. Oleh karena itu, Pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan penjajahan di Nusantara hingga tahun 1945 dan berusaha selama empat tahun untuk balik menguasai Indonesia (sampai 1949).
Kembali ke kisah penampakan dan kesaktian Sultan Agung setelah beliau wafat dan dimakamkan di Imogiri, sebagaimna diceritakan oleh HB IX.
Menurut HB X, suatu hari Gubernur Hindia Belanda untuk wilayah Yogyakarta Lucien Adam mengunjungi makam raja-raja Mataram di Imogiri. Sebelumnya, Sultan Hamengkubuwono ke-VIII (ayah HB IX) telah memberi tahu Gubernur Adam agar mengenakan pakaian adat keraton Jawa seperti aturan yang ada sejak lama.
Tapi Gubernur Adam tidak mengikuti tatacara berpakaian yang telah ditentukan. Ia tetap mengenakan pakaian gubernur Belanda.
Ketika ia sedang menaiki tangga untuk sampai ke pemakaman, seorang pegawainya memberi tahu bahwa putera gubernur mengalami kecelakaan. Sang Gubernur terpaksa turun tangga makam dan mendatangi tempat kecelakaan anaknya.
Suatu hari, setelah kemerdekaan RI tahun 1945, seorang komandan tentara minta izin mendapatkan tempat pertemuan “para orang pinter”.
Sultan HB IX menunjuk wilayah sekitar Ambarukmo. Salah seorang “pinter” itu mengatakan sesuatu kepada Sultan HB X.
Orang itu, kata Ngarso Dalem, memberi tahu, “....Menurut wisik (bisikan gaib) yang ia dapat, saya (Sultan HB IX) harus memberikan dua kali pengurbanan demi keselamatan Republik ini.”
Pengurbanan pertama, kata Ngarso Dalem, adalah tumbal dua ekor ayam jago kembar berjalu (susuh atau taji) kuning yang ditempatkan di barat daya keraton.
Pengurbanan kedua, kata “orang pinter” itu, harus menemukan seekor ayam hitam mulus (seluruhnya hitam) dan seekor ayam jantan putih mulus (seluruhnya putih) yang ada di kaki Gunung Wilis, Jawa Timur.
Menurut Sultan HB IX, “orang pinter” itu mendapat wisik dan penampakan dari orang yang berperawakan tinggi, berjubah hijau, mengenakan ubel-ubel cinde (kain tenun penutup kepala berwarna merah putih).