Saat ini, pers dan masyarakat merasa kesulitan menyampaikan kritik. Kritik kerap diikuti dengan ancaman.
Ketakutan Kwik Kian Gie yang sangat kritis kepada pemerintah sejak era Orde Baru adalah gambaran hal ini. Dewan Pers menyebut kehadiran buzzer membahayakan kebebasan pers.
Seperti terjadi, ancaman kebebasan pers dalam bentuk penghentian penerbitan saat ini bukan lagi dari pemerintah seperti terjadi di era-era sebelum reformasi.
Acaman kebebasan pers itu bisa datang dari masyarakat yang dimobilisasi baik secara langsung maupun virtual. Buzzer ini yang disinyalir Dewan Pers sebagai ancaman kebebasan pers secara virtual.
Meskipun dibantah bahwa pemerintah punya buzzer, jejak digital dan aktivitas buzzer yang punya korelasi dengan pemerintah tidak bisa dihapus.
Tidak seperti pemerintah yang membatah, para buzzer justru memamerkan korelasi mereka dengan pemerintah dengan foto-foto, salah satunya di Istana.
Juru Bicara Istana mungkin perlu menertibkan hal ini terlebih dahulu sebelum membantah hal-hal yang pada kenyataannya sangat mudah didapati.
Setidaknya, beda kata dan perbuatan supaya tidak mudah sekali didapati. Kepercayaan pasti mudah runtuh karena hal ini.
Jusuf Kalla mengatakan, kawan yang baik itu yang selalu mengingatkan bukan memuji. Yang memuji akan membuat kawan masuk jurang.
Senada dengan hal ini, Senin lalu obrolan saya dengan CEO Visinema Angga Dwimas Sasongko tayang di Youtube.
Terkait dengan kritik yang kerap disampaikannya dan diterimanya, Angga mengemukakan pentingnya memilah dan mimilih kritik secara tepat, bukan melulu dari orang yang selalu setuju dan sepaham.
Masih dalam rangka Hari Pers Nasional, perlu disebut bahwa ancaman lain kebebasan pers dalam arti hal yang membuat penerbitan pers berhenti adalah model bisnisnya.
Banyak didapati, pers berhenti terbit karena tidak menemukan model bisnisnya, bukan karena ulah kekuatan besar di luar media seperti pemerintah atau mobilisasi massa.
Menemukan model bisnis yang lestari adalah tantangan paling nyata untuk penerbitan dan kebebasan pers saat ini.