Sebelumnya, pada 2011 muncul ketegangan yang sama dengan tuntutan menggulingkan para pemimpin otokratis di Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman.
Di tahun yang sama, muncul protes di Aljazair pada Februari yang memaksa pemimpin Afrika Utara, Abdelaziz Bouteflika, turun dari kekuasaan.
Baca juga: Menengok Bagaimana Ebola Membantu Afrika Menghadapi Virus Corona...
Pemerintah Madagaskar memecat Rajoelina dari posisinya sebagai wali kota Antananarivo.
Pemecatan tersebut memunculkan aksi massa, hingga menewaskan sedikitnya 28 orang dan ratusan lainnya luka-luka.
Pada 8 Maret 2010, sekitar 70 tentara melakukan pemberontakan di kamp militer besar di luar ibu kota Madagaskar. Mereka menentang penindasan terhadap warga sipil.
Dilansir dari Aljazeera, pemerintah mengatakan pemberontakan tersebut adalah perselisihan internal tentara.
Baca juga: Saat Militer Disebut Dibutuhkan untuk Menegakkan Disiplin Protokol Kesehatan Covid-19...
Namun dua hari setelahnya, Panglima Militer Madagaskar, Jenderal Edmond Rasolofomahandry mengeluarkan ultimatum 72 jam bagi para pemimpin politik untuk menyelesaikan perselisihan mereka atau menghadapi intervensi militer.
Atas dukungan militer, Rajoelina kembali menjabat dan memimpin pemerintahan transisi, serta berjanji untuk mengadakan pemilihan dalam dua tahun.
Akan tetapi, pada 16 November 2010 pembangkangan militer kembali terjadi.
Mereka ingin menangguhkan semua lembaga pemerintah dan menyerahkan tanggung jawab pada dewan militer.
Para pembangkang militer tersebut berhasil ditangkap.
Baca juga: Plus Minus Pembangunan Pangkalan Militer di Natuna...
Presiden Keïta dilengserkan pada 18 Agustus 2020.
Dilansir dari BBC, pelengserannya itu berkaitan dengan aksi massa pada pemerintahannya yang korup, tak becus urus ekonomi, serta perselisihan pemilihan legislatif.
Keïta ditahan oleh militer, tetapi kemudian dibebaskan.
Peristiwa ini menjadi kudeta keempat di negara Afrika Barat, sejak merdeka dari Perancis pada 1960.
Baca juga: Kisah Chanee Kalaweit, Bule Perancis yang Jadi Korban Kabut Asap
Kudeta sebelumnya terjadi pada 2012, yang menyebabkan eksploitasi dan ketidakstabilan di Mali bagian utara.
Pasukan Prancis membantu mendapatkan kembali wilayah, tetapi serangan terus berlanjut.
Para pemimpin kudeta sebelumnya berjanji untuk menghormati perjanjian internasional dalam memerangi jihadis.
Ribuan tentara Prancis, Afrika, dan PBB ditempatkan di negara itu untuk menangani para militan.
Baca juga: INFOGRAFIK: Perbandingan Kekuatan Militer Iran Vs Amerika Serikat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.