Terkait pengembangan GeNose, ahli biologi monekuler Indonesia Ahmad Utomo, mengingatkan soal transparansi dan rekam jejak penemuannya.
Menurut dia, perlu ada publikasi ilmiah mengenai penelitian dan pengembangan alat ini, terutama data yang menjadi dasar bagi GeNose untuk mendapatkan izin edar.
"Tujuannya ini bukan untuk mencari kesalahan atau apa, bukan. Tapi ini kan kita bersama-sama berusaha menghentikan pandemi kan. Kalau data itu bisa diberitakan secara terbuka, misalnya dulu merancang penelitiannya seperti apa sih?" ujar Ahmad, seperti diberitakan Kompas.com, 27 Desember 2020.
Transparansi mengenai data dan rekam jejak peneliti perlu diketahui publik. Hal ini guna memberi akses pada publik untuk memberi koreksi, masukan, atau pengawasan terkait GeNose.
Baca juga: Dapat Izin Kemenkes, Ini Tantangan Tes Covid-19 GeNose Buatan UGM
Ahmad menyarankan agar penggunaan alat ini jangan langsung ditujukan untuk simpul-simpul transportasi, seperti stasiun atau bandara. Ia mengusulkan agar GeNose dipergunakan secara terbatas terlebih dulu, misalnya di rumah sakit akademik.
"Digunakan di rumah sakit akademik, supaya nanti divalidasi lagi. Jangan, misalnya, langsung diterapkan di bandara," kata Ahmad.
GeNose merupakan alat baru. Oleh karena itu, penggunaannya perlu diperhatikan agar tidak memberatkan penanganan pandemi.
Epidemiolog Griffith Universiy Dicky Budiman, mengingatkan, alat ini hanya bersifat screening dini, seperti thermo gun.
Adapun untuk tes dengan tingkat akurasi yang tepat, tetap sesuai anjuran WHO. GeNose tidak dapat menggantikan peran tes PCR, tes rapid antibodi, dan tes rapid antigen.
"Ini sifatnya untuk screening dini, seperti thermo gun cuma ini jauh lebih sensitif, tapi tidak bisa menggantikan PCR, rapid test antibodi atau antigen," kata Dicky seperti diberitakan Kompas.com, akhir Desember 2020.